Horor! Begitulan kesan pertama ketika pertama kali bertamu ke rumah Pono, sebut saja demikian, seorang kolega yang sering kali membantu pekerjaan saya di Yogyakarta ini (alamat dan nama sengaja saya samarkan). Ada kuburan di salah satu kamar dalam rumahnya. Makam itu berkijing marmer, dengan ukuran tanggung. Melihat dari besarnya kijingan, orang pasti bisa menduga bahwa yang dimakamkan di situ masih kanak-kanak.
Yah, tanpa sengaja makam itu terlihat olehku. Sekedar untuk diketahui, tata ruang rumah orang tua Pono ini sangat sederhana. Terdiri dari ruang tamu yang luas, dan terdapat tiga kamar. Ketiga kamar itu terletak secara berderet. Orang Jawa lazim menyebutnya sentong kiri, sentong tengah, dan sentong kanan. Nah, makam yang saya maksud itu terletak di sentong kiri.
Ya, kebanyakan masyarakat Jawa dulu, membagi tata ruang rumahnya seperti itu. Biasanya, sentong tengah digunakan untuk hal-hal yang bersifat spiritual, misalnya tempat untuk persembahan sesaji para leluhur. Sedang kedua sentong yang mengapitnya, lebih berfungsi sebagai kamar-kamar biaa, tempat tidur dan istirahat.
Ketiga sentong itu, memiliki pintu sendiri-sendiri. Letak pintu tersebut di muka. Bukannya di samping. Tetapi tidak demikian dengan yang saya lihat di rumah Pono. Baik sentong kiri atau sentong kanan, masing-masing pintunya terletak di samping. Sedang sentong tengah tanpa pintu alias dibiarkan terbuka begitu saja sehingga yang ada di dalamnya bisa terlihat secara langsung dari ruang tamu.
Nah, saat saya dipersilakan istirahat di sentong kanan inilah, tanpa sengaja saya melihat sebuah kuburan yang terdapat di sentong kiri itu. Saya katakan tidak sengaja melihatnya karena waktu itu pintu sentong kiri ini dalam keadaan terbuka. Dari pintu yang terbuka inilah saya melihat kuburan itu.
“Kuburan sopo iku, Mas?“ tanyaku kepada Pono.
“Adikku!” singkat sekali Pono menjawabnya. Tak ada kesan apa pun di balik jawabannya itu, kecuali biasa-bisa saja. Seolah, bukan hal yang istimewa. Batinku bergumam, “Gendeng! Memakamkan mayat di dalam rumah....“
Terus terang, pemandangan tersebut membuat saya heran, karena memang baru pertama kali itu melihat makam ada di dalam rumah. Tak lazim menurutku.
Dan melihat sepintas keadaan makam itu, saya berani memastikan bahwa keluarga Pono memperlakukannya dengan sangat istimewa. Setidaknya, dalam bayanganku, pada hari-hari tertentu pasti ada ritual di makam itu. Bayanganku ini spontan melela di pelupuk angan, bersama anglo kecil tempat biasa membakar kemenyan. Bukan hanya itu, tetapi juga terdapat kembang-kembang kering yang berserak di kijingan, batang-batang hioswa yang ujungnya telah terbakar, dan puluhan keris pusaka yang tersandar sedemikian rupa di dinding-dinding kijingan.
Karena sangat penasaran dan ingin tahu alasan almarhum adik Pono ini dimakamkan di dalam rumah. Pasti ada sesuatu dibalik itu semua. Apalagi rumah Pono ini tak jauh dari komplek pemakaman umum. Tapi menagapa jasad adik Pono dimakamkan di dalam rumah?
Dengan sangat hati-hati, terpaksa saya tanyakan hal-hal yang membuat rasa ingin tahuku menggeliat. Pono pun kemudian bercerita, bahwa adiknya yang dikuburkan dalam sentong kiri itu meninggal dunia sebelum sempat lahir di dunia. “Ibuku keguguran waktu mengandung dia, lalu bapak memakamkannya sendiri di dalam kamar tersebut,” jelas Pono.
Bapaknya Pono sendiri adalah seorang kejawen tulen. Dia masih memiliki kepercayaan bahwa janin-janin yang meninggal dunia sebelum sempat terlahir di dunia, di alamnya sana hidup dan berkembang sebagaimana layaknya manusia. Hanya saja berada di dimensi yang berbeda dengan manusia lumrah umumnya.
“Bapak dan Ibu yakin, bahwa adikku ini laki-laki sekalipun waktu itu masih belum diketahui jenis kelaminnya,” cerita Pono menyambung.
Saya penasaran bagaimana mungkin tahu jenis kelaminnya sedangkan kematiannya masih berupa janin yang masih sangat muda? Tak pelak batinku pun tergelitik untuk bertanya lebih jauh lagi.
“Bagaimana mungkin bapak dan ibumu memiliki keyakinan seperti itu, bahwa adikmu itu laki-laki?" tanyaku dengan harapan bisa memuaskan rasa penasaranku.
“Bukan hanya baoak dan ibuku saja yang yakin, Mas. Kami semua yakin bahwa dia itu laki-laki. Keyakinan tersebut, kami peroleh melalui mimpi. Suatu ketika, Bapak bermimpi didatangi bocah laki-laki, dan minta dikhitan. Mimpi yang sama juga dialami oleh ibuku, kemudian berturut-turut aku dan adikku ragil,” urai Pono serius.
Obrolan tersebut berhenti karena bapaknya datang. Kali ini, yang bercerita langsung kepada saya adalah bapaknya Pono, lelaki sepuh yang masih terlihat bugar. Dia berkisah serupa dengan Pono yang terlebih dulu bercerita kepada saya, tentang jenis kelamin adiknya yang makamnya di dalam kamar itu. “Saya yakin kalau anak saya itu laki-laki, karena pada suatu hari saya diprimpeni (diberi isyarah berupa mimpi) minta khitan, “ ujar bapaknya Pono. “Dan saya semakin yakin bahwa dia itu laki-laki karena istri saya juga menadapatkan mimpi serupa,“ imbuhnya.
Antusias sekali bapaknya Pono itu menceritakan pengalamannya kepadaku. Yang bisa saya simpulkan dari kisahnya bahwa bapaknya Pono sangat mencintai anaknya yang tidak sempat terlahir di dunia itu. Saking cintanya, dia tidak ingin anaknya dimakamkan di tempat pemakaman umum. “Walaupun alam kami berbeda, namun saya berusaha untuk selalu bisa berdekatan dengannya,” aku bapaknya Pono menggetarkan.
Saya pun bergumam dalam hati, atas pengakuan Bapaknya Pono itu. Inikah yang dimaksud cinta memungkinkan apa yang tidak mungkin itu?
“Dan lebih dari itu, setiap kali melihat makam anak saya ini, saya selalu ingat mati sehingga saya pun berusaha menimbun bekal sebagai sangu saya nanti. Dan inilah yang selalu ingin mendekat kepada Yang Maha Kuasa. Subhanallah...,” ungkap bapaknya Pono filosofis dan religius sekali sekaligus menutup obrolan kami malam itu. Maturnuwun...
Yogyakarta, 301816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H