Bapaknya Pono sendiri adalah seorang kejawen tulen. Dia masih memiliki kepercayaan bahwa janin-janin yang meninggal dunia sebelum sempat terlahir di dunia, di alamnya sana hidup dan berkembang sebagaimana layaknya manusia. Hanya saja berada di dimensi yang berbeda dengan manusia lumrah umumnya.
“Bapak dan Ibu yakin, bahwa adikku ini laki-laki sekalipun waktu itu masih belum diketahui jenis kelaminnya,” cerita Pono menyambung.
Saya penasaran bagaimana mungkin tahu jenis kelaminnya sedangkan kematiannya masih berupa janin yang masih sangat muda? Tak pelak batinku pun tergelitik untuk bertanya lebih jauh lagi.
“Bagaimana mungkin bapak dan ibumu memiliki keyakinan seperti itu, bahwa adikmu itu laki-laki?" tanyaku dengan harapan bisa memuaskan rasa penasaranku.
“Bukan hanya baoak dan ibuku saja yang yakin, Mas. Kami semua yakin bahwa dia itu laki-laki. Keyakinan tersebut, kami peroleh melalui mimpi. Suatu ketika, Bapak bermimpi didatangi bocah laki-laki, dan minta dikhitan. Mimpi yang sama juga dialami oleh ibuku, kemudian berturut-turut aku dan adikku ragil,” urai Pono serius.
Obrolan tersebut berhenti karena bapaknya datang. Kali ini, yang bercerita langsung kepada saya adalah bapaknya Pono, lelaki sepuh yang masih terlihat bugar. Dia berkisah serupa dengan Pono yang terlebih dulu bercerita kepada saya, tentang jenis kelamin adiknya yang makamnya di dalam kamar itu. “Saya yakin kalau anak saya itu laki-laki, karena pada suatu hari saya diprimpeni (diberi isyarah berupa mimpi) minta khitan, “ ujar bapaknya Pono. “Dan saya semakin yakin bahwa dia itu laki-laki karena istri saya juga menadapatkan mimpi serupa,“ imbuhnya.
Antusias sekali bapaknya Pono itu menceritakan pengalamannya kepadaku. Yang bisa saya simpulkan dari kisahnya bahwa bapaknya Pono sangat mencintai anaknya yang tidak sempat terlahir di dunia itu. Saking cintanya, dia tidak ingin anaknya dimakamkan di tempat pemakaman umum. “Walaupun alam kami berbeda, namun saya berusaha untuk selalu bisa berdekatan dengannya,” aku bapaknya Pono menggetarkan.
Saya pun bergumam dalam hati, atas pengakuan Bapaknya Pono itu. Inikah yang dimaksud cinta memungkinkan apa yang tidak mungkin itu?
“Dan lebih dari itu, setiap kali melihat makam anak saya ini, saya selalu ingat mati sehingga saya pun berusaha menimbun bekal sebagai sangu saya nanti. Dan inilah yang selalu ingin mendekat kepada Yang Maha Kuasa. Subhanallah...,” ungkap bapaknya Pono filosofis dan religius sekali sekaligus menutup obrolan kami malam itu. Maturnuwun...
Yogyakarta, 301816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H