Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Blusukan ke Perpustakaan Bujangga Manik di Candi Penataran

12 Desember 2014   01:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:29 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fungsi sebagai tempat menimba ilmu ini bahkan sudah disebutkan dalam naskah Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda, yang sempat menyinggahi Gunung Kampud (nama arkhais dari Gunung Kelud), tepatnya di Rabut Pasajen – satu tempat suci bagi Majapahit, yang disucikan oleh orang Jawa. Bujangga Manik adalah penyair kelana dari Pakuan (di dekat Bogor kini) yang hidup pada abad ke-16. Sebetulnya, dia adalah ahli waris tahta kerajaan dari Istana Pakuan di Cipakancilan, dengan gelar Pangeran Jaya Pakuan, tapi dia lebih suka menempuh jalan hidup asketis. Sebagai rahib Hindu, dia berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali.

14182956821902591430
14182956821902591430

Sosok dan kisah perjalanan Bujangga Manik dikenal oleh publik modern berdasarkan sebuah naskah dalam bahasa Sunda Kuna di atas daun lontar, karya sang rahib. Naskah itu didapatkan oleh seorang saudagar dari Newport, bernama Andrew James, lalu diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, di Oxford, Inggris, yang diperkirakan berlangsung pada 1627 atau 1629. Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Perjalanan_Bujangga_Manik

Ia tinggal di Palah hingga setahun lamanya untuk belajar beberapa kitab agama dan hukum. Bahkan sempat membaca Darmaweya dan Pandawajaya. Menurutnya, kala itu para peziarah dan pengunjung dari perkotaan datang tiada hentinya. Artinya, pada abad ke-15 atau ke-16, Candi Palah masih ramai diziarahi orang yang melakukan puja dan belajar agama. Penataran adalah tempat pendidikan agama yang disebut mandala atau kadewaguruan yang dipimpin oleh seorang Siddharsi atau Dewan Guru yang marak di Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Bahkan karena dirasa sudah “terlalu ramai” itulah maka Bujangga Manik lantas meninggalkan Penataran, mencari tempat lain yang sepi hingga bisa belajar dengan tenang.
Nah, pertanyaannya sekarang, apakah kita masih tetap menyia-nyiakan potensi Penataran yang luar biasa ini? Kalau Borobudur sudah terkenal dengan keindahan reliefnya, maka Jawa Timur memiliki Candi Penataran. Ke sanaah kita musti belajar banyak hal. Bujangga Manik saja sudah menjadikan Penataran sebagai perpustakaan, juga mereka yang hidup jaman Majapahit. Dan “perpustakaan” itu sampai sekarang masih ada dan terbuka lebar-lebar pintunya. Masihkah kita malas membacanya? Sekian dulu dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun