Fungsi sebagai tempat menimba ilmu ini bahkan sudah disebutkan dalam naskah Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda, yang sempat menyinggahi Gunung Kampud (nama arkhais dari Gunung Kelud), tepatnya di Rabut Pasajen – satu tempat suci bagi Majapahit, yang disucikan oleh orang Jawa. Bujangga Manik adalah penyair kelana dari Pakuan (di dekat Bogor kini) yang hidup pada abad ke-16. Sebetulnya, dia adalah ahli waris tahta kerajaan dari Istana Pakuan di Cipakancilan, dengan gelar Pangeran Jaya Pakuan, tapi dia lebih suka menempuh jalan hidup asketis. Sebagai rahib Hindu, dia berziarah menyusuri Pulau Jawa hingga Bali.
Sosok dan kisah perjalanan Bujangga Manik dikenal oleh publik modern berdasarkan sebuah naskah dalam bahasa Sunda Kuna di atas daun lontar, karya sang rahib. Naskah itu didapatkan oleh seorang saudagar dari Newport, bernama Andrew James, lalu diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian, di Oxford, Inggris, yang diperkirakan berlangsung pada 1627 atau 1629. Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Perjalanan_Bujangga_Manik
Ia tinggal di Palah hingga setahun lamanya untuk belajar beberapa kitab agama dan hukum. Bahkan sempat membaca Darmaweya dan Pandawajaya. Menurutnya, kala itu para peziarah dan pengunjung dari perkotaan datang tiada hentinya. Artinya, pada abad ke-15 atau ke-16, Candi Palah masih ramai diziarahi orang yang melakukan puja dan belajar agama. Penataran adalah tempat pendidikan agama yang disebut mandala atau kadewaguruan yang dipimpin oleh seorang Siddharsi atau Dewan Guru yang marak di Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Bahkan karena dirasa sudah “terlalu ramai” itulah maka Bujangga Manik lantas meninggalkan Penataran, mencari tempat lain yang sepi hingga bisa belajar dengan tenang.
Nah, pertanyaannya sekarang, apakah kita masih tetap menyia-nyiakan potensi Penataran yang luar biasa ini? Kalau Borobudur sudah terkenal dengan keindahan reliefnya, maka Jawa Timur memiliki Candi Penataran. Ke sanaah kita musti belajar banyak hal. Bujangga Manik saja sudah menjadikan Penataran sebagai perpustakaan, juga mereka yang hidup jaman Majapahit. Dan “perpustakaan” itu sampai sekarang masih ada dan terbuka lebar-lebar pintunya. Masihkah kita malas membacanya? Sekian dulu dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H