Kami berhenti sebentar di sebuah pondok dibukit, beristirahat sedikit. Dikejauhan tampak sawah berundak-undak seperti di Bali. Dan di sekeliling pondok tanaman padi setinggi 25 cm yang ditanam di kebun, sudah mulai tumbuh menghijau. Setelah istirahat sebentar kami segera bergerak turun.
Dan sebentar kemudian kami sampai di sebuah jembatan bambu. Ini jembatan bambu terakhir dan menandai kami keluar dari wilayah Baduy. Ada sebuah prasasti tertulis: Selamat datang di kawasan hak ulayat Masyarakat Baduy. Desa Kanekes, Kec. Leuwidamar Kab. Lebak.
[caption id="attachment_360798" align="aligncenter" width="512" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]
Lega rasanya ketika kami berjalan melalui rumah penduduk di Cijahe, ada warung yang menjual makanan kecil, minuman dan souvenir. Ada papan yang bertuliskan Amanat Buyut, yang merupakan petuah adat dari leluhur Baduy.
Dapat pelajaran berharga dari Cijahe ini. Ternyata lebih mudah dan cepat melalui Cijahe untuk masuk ke Baduy Dalam. Hanya saja tetap perlu ijin lebih dahulu dari Jaro di Ciboleger. Jika tidak, warga Baduy tidak bertanggung-jawab ketika anda berada di wilayah mereka.
Kami berpisah dengan warga mang Idong disini. Terasa sedih juga melihat Mang Idong menatap dan memperhatikan kami bersiap-siap pulang. Saya bilang ke Mang Idong, banyak foto yang saya ambil, bagaimana saya mengirimkan kepada dia? Mang Idong hanya tersenyum dan berkata: “Suatu saat barangkali nanti saya datang ke rumah Mas dan ambil fotonya”.
Meski hanya berbilang jam bersama mereka, terasa ada pemahaman dan kedekatan tersendiri. Mereka orang-orang yang tulus, ramah dan friendly. Sebentar lagi kami segera kembali dan berkutat dengan kehidupan rutin dan mereka pun juga menjalani kehidupan seperti biasanya. Dua buah kultur berbeda yang terus berjalan. Entah sampai kapan mereka mampu menjaga dan melestarikan keyakinan mereka, Sunda Wiwitan.
[caption id="attachment_360800" align="aligncenter" width="448" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]
Akhir kata bicara perihal wilayah Baduy di kaki Peg. Kendeng, Banten, memang lebih dari sekadar keelokan alam. Orang Baduy nan bersahaja menebarkan keindahan melebihi alamnya. Pribadi itu murah senyum, tulus dan terbuka. Berbeda dari dunia biasa, di mana satu dan lain sering menaruh curiga. Menikmati alam Baduy serta menjumpai masyarakatnya, seakan mereguk kedamaian dari oase-nya. Orang Baduy berkenan menerima kita bermalam di rumah panggungnya. Kita cukup patuhi aturan adat dan rela hidup sederhana ikuti harmoni alam. Menghabiskan semalam di Baduy dalam bersama sang empunya, adalah wisata batin yang sempurna. Entah, hingga kapan kesederhanaan itu mampu bertahan dari pengaruh modernisasi. Saya berharap bisa kembali.
Bila merindukan alam dengan hijau pepohonan sejauh pandang, jernih air laksana cermin, dan jutaan bintang bagai lampu di gelap malam. Bila kita meragukan ada keramahan, kesederhanaan dan kejujuran dan sungguh rindukan kedamaian. Datanglah ke BADUY! kita akan tahu semua itu nyata.
Terima kasih pada Cleo yang berkenan goyang lutut menemani saya dan semua kolega yang kebagian repot mencarikan ikan asin di pasar Pandeglang untuk bekal ke Baduy; Artiningsih, Lilis, Ade Semuanya terima kasih tak terhingga atas dukungannya hingga saya bisa melawat ke peradaban abad ke XV di Banten ini . Wassalam…
[caption id="attachment_360802" align="aligncenter" width="448" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]
[caption id="attachment_360803" align="aligncenter" width="459" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]
[caption id="attachment_360804" align="aligncenter" width="448" caption="(Dok. Ulul Rosyad)"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI