Mohon tunggu...
Abyan Daffa
Abyan Daffa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Master Media dan Komunikasi UMY

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial Dalam Kacamata Filsafat Modernisme Habermas: Menakar Tantangan dan Peluang Demokrasi Digital

18 Januari 2025   17:53 Diperbarui: 18 Januari 2025   17:53 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Studi Kasus: Polarisasi Politik di Media Sosial

Salah satu fenomena menarik yang dapat dikaji lebih dalam adalah bagaimana media sosial memengaruhi polarisasi politik. Selama Pilpres Amerika Serikat tahun 2020, media sosial menjadi medan pertempuran narasi politik antara pendukung Joe Biden dan Donald Trump. Algoritma platform seperti Facebook dan Twitter sering kali memperkuat polarisasi dengan memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional, seperti berita sensasional atau provokatif.

Dalam kacamata Habermas, fenomena ini menunjukkan bagaimana ruang publik digital dapat kehilangan fungsinya sebagai arena diskusi rasional. Polarisasi ini juga menciptakan tantangan besar bagi demokrasi, karena menghambat dialog lintas kelompok dan memperkuat fragmentasi sosial. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang mengintegrasikan teori rasionalitas komunikatif Habermas dengan kebijakan yang mendukung transparansi algoritma dan literasi digital.

Mengintegrasikan Perspektif Habermas dalam Pengelolaan Media Sosial

Untuk mengatasi tantangan sekaligus memaksimalkan peluang media sosial, pendekatan berbasis teori Habermas dapat diimplementasikan melalui beberapa langkah. Pertama, perlu dikembangkan norma-norma komunikasi yang mendukung dialog rasional dan inklusif, baik di tingkat individu maupun platform. Dalam konteks gerakan sosial seperti #MeToo dan Black Lives Matter, ini berarti memastikan bahwa diskusi tetap fokus pada isu utama tanpa terganggu oleh narasi yang menyimpang.

Kedua, transparansi algoritma harus menjadi prioritas bagi perusahaan media sosial. Dengan memahami bagaimana algoritma bekerja, pengguna dapat lebih kritis terhadap konten yang mereka konsumsi, sehingga mengurangi risiko terjebak dalam filter bubble. Regulasi yang mendukung transparansi ini juga akan membantu mencegah distorsi ruang publik digital oleh kepentingan komersial semata.

Ketiga, literasi digital harus ditingkatkan agar masyarakat mampu mengenali disinformasi dan berpartisipasi dalam diskusi yang sehat. Dalam konteks teori Habermas, literasi digital yang baik adalah prasyarat untuk menciptakan ruang publik yang benar-benar inklusif dan demokratis.

Selain itu, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan aktif dalam menciptakan regulasi yang mendukung komunikasi berbasis rasionalitas. Misalnya, undang-undang yang melarang penyebaran disinformasi atau regulasi untuk mempromosikan transparansi algoritma dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat. Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa media sosial dapat memenuhi potensinya sebagai ruang publik digital yang demokratis.

Kesimpulan

Dalam kacamata filsafat modernisme Habermas, media sosial memiliki potensi besar untuk menjadi ruang publik demokratis. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan upaya kolektif untuk mengatasi tantangan polarisasi, disinformasi, dan dominasi algoritma. Studi kasus seperti gerakan #MeToo, Black Lives Matter, dan polarisasi politik selama Pilpres AS 2020 menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk memperluas partisipasi politik dan menciptakan solidaritas global, meskipun masih ada hambatan yang perlu diatasi. Dengan memadukan teori rasionalitas komunikatif dan prinsip ruang publik, media sosial dapat dioptimalkan sebagai alat untuk memperkuat demokrasi dan inklusi sosial.

Referensi

  1. Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: MIT Press.
  2. Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
  3. Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton: Princeton University Press.
  4. van Dijck, J. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. Oxford: Oxford University Press.
  5. Dahlgren, P. (2005). The Internet, Public Spheres, and Political Communication: Dispersion and Deliberation. Political Communication, 22(2), 147-162.
  6. Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. New York: Penguin Press.
  7. Freelon, D., McIlwain, C. D., & Clark, M. D. (2016). Beyond the Hashtags: #Ferguson, #BlackLivesMatter, and the Online Struggle for Offline Justice. Center for Media & Social Impact.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun