Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, telah membawa transformasi besar dalam cara masyarakat berinteraksi dan mengelola ruang publik. Media sosial kini menjadi arena utama dalam pembentukan opini publik, diskusi politik, dan gerakan sosial. Namun, fenomena ini juga memunculkan sejumlah tantangan, seperti polarisasi, disinformasi, dan fragmentasi masyarakat. Dalam konteks ini, filsafat modernisme Jrgen Habermas, khususnya konsep rasionalitas komunikatif dan ruang publik, menawarkan perspektif kritis untuk memahami dinamika media sosial sebagai ruang diskusi demokratis.
Dalam kajian Habermas, ruang publik dianggap sebagai arena di mana individu dapat berdiskusi secara bebas dan rasional tentang isu-isu publik. Idealnya, ruang ini bebas dari tekanan negara maupun kepentingan pasar, sehingga memungkinkan terciptanya konsensus melalui diskusi yang inklusif. Di sisi lain, konsep rasionalitas komunikatif yang ia gagas menekankan dialog yang berorientasi pada pemahaman bersama, bukan sekadar pada hasil instrumental. Konsep-konsep ini dapat digunakan untuk menyoroti fenomena spesifik dalam media sosial, seperti gerakan #MeToo, yang menggambarkan bagaimana media sosial berfungsi sebagai ruang publik baru.
Media Sosial sebagai Ruang Publik Baru
Media sosial sering dianggap sebagai ruang publik baru yang memperluas akses masyarakat untuk berdiskusi dan berbagi informasi. Sebagai contoh, gerakan #MeToo yang dimulai pada tahun 2017 menjadi salah satu studi kasus penting yang menunjukkan bagaimana media sosial mampu menciptakan ruang bagi individu untuk berbagi pengalaman pribadi tentang pelecehan seksual. Dengan memanfaatkan platform seperti Twitter dan Facebook, gerakan ini memobilisasi solidaritas global, memberikan suara kepada kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, dan memicu perubahan kebijakan di berbagai institusi.
Namun, menurut kacamata Habermas, media sosial sebagai ruang publik tidak sepenuhnya ideal. Meskipun platform ini memungkinkan aksesibilitas yang luas, ia juga menghadirkan tantangan yang signifikan. Algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna sering kali menciptakan "filter bubble," di mana individu hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri. Dalam konteks gerakan #MeToo, filter bubble ini dapat mempersempit ruang diskusi, menghambat pemahaman lintas perspektif, dan memperkuat polarisasi. Dalam istilah Habermasian, fenomena ini menunjukkan bagaimana ruang publik digital dapat terdistorsi oleh logika sistem pasar yang mengedepankan kepentingan komersial di atas rasionalitas komunikatif.
Tantangan Rasionalitas Komunikatif dalam Era Media Sosial
Salah satu tantangan terbesar dalam memanfaatkan media sosial sebagai ruang publik adalah bagaimana menjaga kualitas dialog yang terjadi di dalamnya. Dalam pandangan Habermas, komunikasi yang ideal harus didasarkan pada argumen rasional, kesetaraan partisipasi, dan kebebasan dari dominasi. Namun, fenomena disinformasi dan penyebaran hoaks di media sosial menunjukkan betapa sulitnya mencapai kondisi ini. Misalnya, selama pandemi COVID-19, media sosial dipenuhi dengan informasi yang salah tentang vaksinasi. Diskusi yang seharusnya berorientasi pada pencarian kebenaran sering kali terdistorsi oleh narasi emosional atau kepentingan politik tertentu.
Habermas akan melihat fenomena ini sebagai contoh "kolonisasi dunia kehidupan" oleh sistem, di mana logika pasar dan kekuasaan merusak interaksi sosial yang seharusnya berbasis pada rasionalitas komunikatif. Dalam konteks pandemi, algoritma media sosial yang dirancang untuk memprioritaskan konten sensasional atau kontroversial sering kali memperburuk situasi, mengarahkan pengguna pada informasi yang memperkuat ketakutan atau prasangka mereka.
Peluang Media Sosial sebagai Ruang Publik Demokratis
Meski menghadapi banyak tantangan, media sosial juga menawarkan peluang untuk memperkuat demokrasi. Gerakan sosial seperti #MeToo dan Black Lives Matter menunjukkan bagaimana platform digital dapat digunakan untuk memobilisasi solidaritas dan menciptakan perubahan nyata. Dalam pandangan Habermas, ini mencerminkan potensi ruang publik digital untuk menjadi arena diskusi yang inklusif dan emansipatoris, asalkan didukung oleh regulasi dan norma yang mendorong komunikasi rasional.
Sebagai contoh, gerakan Black Lives Matter yang memanfaatkan Instagram dan Twitter sebagai alat utama komunikasi berhasil membawa isu rasisme sistemik ke panggung global. Kampanye ini melibatkan jutaan orang dari berbagai latar belakang, menciptakan diskusi yang melampaui batas geografis dan budaya. Namun, seperti halnya gerakan #MeToo, keberhasilan ini juga menghadapi tantangan dari disinformasi dan narasi yang memecah belah, yang sering kali diperparah oleh algoritma platform.