Mohon tunggu...
Jong Celebes
Jong Celebes Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar

"Tidak ada kedamaian tanpa Keadilan"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Sapi Ungu" Praktik Ritual di Al Zaytun Singgung Status Quo sebagian Kecil Masyarakat

26 April 2023   07:11 Diperbarui: 26 April 2023   07:16 4747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sapi ungu diantara sapi lumrah. Foto : tentangkarir.com

Seorang penulis bernama Seth Godin, dalam bukunya Purple Cow bercerita, suatu hari ia bersama keluarganya melakukan perjalanan menyurusuri pinggiran Perancis. 

Sepanjang jalan mereka melihat ratusan sapi berwarna putih sedang merumput. Jumlahnya sangat banyak hingga sampai beberapa kilometer masih terlihat.

Awalnya menarik, tetapi lama kelamaan pemandangan itu menjadi biasa dan lumrah sampai suatu ketika muncul 'sapi ungu'.

Kemunculan Sapi ungu dianggap mendobrak status quo/kemapanan para sapi putih yang sudah mentradisi turun temurun, sehingga sapi ungu yang sedikit berbeda pun geger dan sebagian kecil warga mencapnya 'sesat'.

Apa iya? Bukankah hampir semua peradaban besar dunia lahir dari kondisi 'berbeda' seperti laiknya penampakan sapi ungu.

Tidak seperti yang umum dilakukan orang.

Contohnya, peradaban Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad yang merupakan cikal bakal Islam Rahmatan Lil Alamin juga awalnya dinilai berbeda tidak seperti umumnya. Bahkan Nabi dicap 'Gila'.

Masyarakat Quraish Mekah dan pejabat-pejabatnya menilai Nabi, pengikutnya dan praktik baru yang dibawahnya adalah  kontroversial..

Andai dulu ada internet, mungkin Nabi  akan dirujak oleh 'netizen', tetapi parahnya lagi, masyarakat melempari Nabi dengan kotoran dan batu.

Nabi dianggap sebagai seperti 'sapi ungu' yang mengancam zona nyaman (kebiasaan umum) mereka.

Namun pada akhirnya Nabi mampu membuktikan bahwa apa yang dipraktekkan selama ini tidak segila dan sesesat yang dibayangkan oleh sebagian kecil orang yang memang sudah punya 'anasir' kebencian.

So, jangan takut berbeda dan justru mari kita rayakan perbedaan (tagline kompas).

Perbedaan hal yang lumrah dalam hidup ini dan menjadi rahmat.

Jika ada orang atau sekelompok orang yang berbeda, mbok ya jangan buru buru dicap sesat...atau batal.

Dalam hidup dan kehidupan ini tak ada harga mati, selama kita hidup maka semua bisa menjadi 'debatable'...bisa diperdebatkan.

Tak ada satu pihak bahkan MUI sekali pun yang boleh memonopoli surga, menganggap pihaknya lah yang paling benar, sementara yang lain yang berbeda dianggap sesat.

Bahkan para sapi ungu pun berhak mendapatkan surga....Islam, Nasrani, Yahudi pun berhak masuk surga.

Berkaca dari kejadian yang dialami Ponpes Al Zaytun yang dinilai 'aneh' karena salat denga saf renggang dan bercampur pria dan wanita semestinya juga ditanggapi dengan bijak.

Kita tak boleh buru-buru menilai bahwa itu sesat dan batal salatnya. Coba Tabayyun dan mencari tahu latar belakang dan dalil yang mereka gunakan.

Di dunia ini dalam Islam ada empat Mazhab besar yang dikenal selama ini.

Semua debatable...bisa jadi Mazhab A , haram, tapi Mazhab lainnya makruh atau mungkin halal, itu biasa.

Yuk , sebelum bijak sana mari kita bijak sini (introspeksi diri)


Surga for All mankind...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun