Diskriminasi terhadap perempuan merupakan suatu hal yang selalu menjadi masalah di Indonesia, meskipun zaman sudah sangat modern dan emansipasi wanita serta kesetaraan gender sudah digalakan sejak dari zaman Ibu RA Kartini dulu, namun hal ini masih ada dan melekat pada masyarakat di Indonesia.
Penyebab kenapa diskriminasi terhadap wanita masih ada sampai sekarang ini diduga berasal dari budaya lama maupun doktrin-doktrin iklan yang kebanyakan memposisikan laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan, serta pembagian suatu peran atau pekerjaan berdasarkan gender yang jika dipikirkan lagi ternyata tidak memiliki alasan yang masuk akal.
Hal tersebut kemudian dianggap lumrah oleh masyarakat padahal anggapan bahwa suatu gender lebih redah daripada gender lain ataupun pelarangan suatu gender tertentu untuk melakukan suatu hal yang tidak jelas dasarnya merupakan sebuah masalah serius yang bisa berdampak langsung pada kehidupan sosial gender yang merasa dirugikan.
Diskriminasi terhadap gender pun dapat diakibatkan oleh stereotip gender yang telah terbentuk dalam kehidupan dan pola pikir masyarakat yang berasal dari budaya maupun media massa yang menjadi konsumsi dan lekat dengan kehidupan sehari-harinya. Dalam penelitian awal tentang stereotip dalam media, gender dianggap sebagai kategori yang cukup stabil untuk membedakan antara karakteristik perempuan dan laki-laki.
Laki-laki misalnya, diamati untuk digambarkan dalam peran-peran yang lebih kuat, sedangkan perempuan merupakan pihak yang selalu tunduk. Dalam penelitian penerimaan, fokusnya adalah pada faktor-faktor sosial dan budaya dalam keluarga, institusi, dan kekuatan lain yang memengaruhi bagaimana penggambaran media diterima atau dipahami.
Oleh Sebab itu, misalnya dalam menyaksikan karakter pria atau wanita di televisi persepsi penonton/audiens akan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang telah dialami dalam kehidupannya. Dengan kata lain, pemaknaan seseorang pada apa yang dilihatnya tidak hanya ditentukan oleh pengamatannya sendiri, tetapi oleh apa yang dimasukannya dalam situasi tersebut.
Dalam kasus video asusila selebriti di Indonesia biasanya pihak dari selebriti wanita yang mendapatkan banyak hujatan dan cacian serta stigma negatif dari masyarakat. Hal tersebut terjadi karena masyarakat menganggap bahwa perempuan itu seharusnya dapat menjaga perilakunya agar laki-laki tidak berbuat macam-macam pada dirinya, padahal laki-laki juga memiliki andil hal tersebut, namun yang dibahas dan disorot oleh masyarakat selalu pada pihak perempuan.
Contoh kasus video asusila yang terdapat unsur diskriminasi terhadap perempuan didalamnya adalah pada kasus video asusila dari Gisella Anatasia atau biasa di panggil Gisel. Dilansir dari www.liputan6.com pada akhir tahun 2020 Gisel menjadi sorotan karena viralnya rekaman video asusila seorang wanita yang disebut-sebut mirip dengan Gisel tengah melakukan hubungan badan dengan seorang pria, video yang berdurasi 19 detik tersebut sontak viral diberitakan banyak media dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Tak lama setelah video tersebut viral Gisel pun mengakui bahwa yang ada dalam video asusila tersebut memanglah rekaman dirinya yang direkam disebuah hotel dikawasan Medan pada tahun 2017, pernyataan tersebut dia ungkapkan pada saat di panggil oleh pihak kepolisian pada hari Selasa, 17 November 2020 di Mapolda Metro Jaya.
Dalam kasus video asusila selebriti yang di alami oleh Gisel ini, masyarakat lebih memusatkan perhatiannya pada Gisel sebagai pihak perempuan. Hal ini terjadi selain karena Gisel adalah seorang selebritis yang dikenal oleh banyak orang di Indonesia, tetapi juga karena bahwa Gisel ini adalah seorang perempuan yang dicap masyarakat harus menjaga sikap dan lain sebagainya yang dilabelkan terhadap perempuan, padahal dalam video tersebut ada pula pihak laki-lakinya yaitu Michael Yukinobu Defretes atau biasa dipanggil Nobu, namun sorotan dan hujatan warganet tetap terpusat pada Gisel.
Sorotan dan hujatan warganet ini disalurkan melalui media sosial instagram dengan menyerang akun pribadi dari Gisel yaitu @gisel_la, kata-kata ejekan serta sindiran dilontarkan pada setiap postingan Gisel pada saat kasus video asusila ini viral. Dari banyaknya komentar yang ada pada saat kasus video asusila tersebut viral, kata-kata yang paling banyak dilontarkan pada Gisel adalah bahwa Gisel merupakan perempuan yang tidak tahu malu dan perempuan harus bisa menjaga sikapnya sebagai perempuan, padahal Gisel telah memberikan keterangan bahwa bukan dia yang menyebarkan video yang berdurasi 19 detik tersebut dan video tersebut merupakan video lama yang direkam pada tahun 2017.
Hujatan yang di pusatkan pada Gisel sebagai pihak perempuan oleh para warganet melalui instagram pribadi Gisel tersebut menunjukan sikap yang termasuk dalam tindakan dalam terori semiotika Roland Barthes. Roland Barthes membedakan teori semiotikanya dalam dua pengertian (signification) yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif dan harfiah makna yang disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan oleh hubungan antara signifiers dan budaya secara luas yang mencakup kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial.
Makna menjadi per soalan dari asosiasi tanda-tanda dengan kode-kode makna kultural yang lain. Konotasi membawa nilai-nilai ekspresi yang muncul dari kekuatan akumulatif sequence (syntagmatically), atau dengan perbandingan ketidakhadiran alternatif (paradigmatically). Ketika konotasi telah menjadi natural sebagai hegemoni, diterima secara normal dan natural, maka ia bertindak sebagai peletak konseptual makna yang akan membuat makna tentang dunia. Inilah yang diistilahkan Barthes dengan myth (connotative system), yang merupakan sebuah konstruksi budaya. Konsep myth seperti konsep ideologi, yang bekerja pada level konotasi.
Volosinov menyebutkan bahwa ideologi berkorespondensi dengan tanda-tanda sehingga jika terdapat tanda-tanda (signs), maka di sana terdapat ideologi. Menurut Barthes, tidak semua sistem semiologi adalah mythic. Tidak semua tanda membawa muatan ideologi (Griffin, 2000 : 329). Myth diistilahkan juga dengan second order semiological system atau meta language, yaitu bahasa level kedua yang bicara tentang bahasa level pertama. Tanda sistem pertama (signifier dan signified) yang menggerakkan makna denotatif menjadi signifier pada makna konotatif mitologi kedua. Barthes menyebut ini dengan metaphor (Barker, 2000:69).
Jadi para warganet yang memusatkan perhatian dan menghujat Gisel memiliki kepercayaan bahwa perempuan itu harus menjaga sikapnya dan tidak berbuat hal yang seperti dilakukan Gisel, lalu mereka melakukan hujatan tersebut ‘mungkin’ dengan maksud memberikan sanksi sosial. Dan kepercayaan dari warganet tersebut terbentuk dari kekuatan sosial dalam kehidupannya, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial masyarakat di Indonesia yang sudah mengakar dari budaya lama.
Sumber :
Suasana, Arief Agung, 2001, Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi, NIRMANA Vol. 3, No. 1, Januari 2001, Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Rahmawati, Alvi Septi. Tripambudi, Sigit. Lestari, Puji. 2010, Bias Gender dalam Iklan Attack Easy di Televisi, Jurnal Ilmu komunikasi, Volume 8 Nomor 3, Tahun 2010, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta.
Sobur, Alex. 2003, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A. 2009, Teori Komunikasi Edisi 9, Salemba Humanika, Jakarta.
Liputan6.com. (2020, 31 Desember). Diakses pada 30 Maret 2021, dari https://www.liputan6.com/showbiz/read/4446029/6-pengakuan-gisel-kepada-polisi-soal-kasus-v
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H