Dalam konteks tradisional, keulamaan sering dipahami sebagai individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ilmu agama Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, dan fikih. Mereka adalah ulama yang bertugas mengajarkan, membimbing, dan memberi nasihat kepada umat Islam. Namun, untuk menghadapi tantangan zaman modern yang semakin kompleks, perlu adanya rekonstruksi terhadap konsep keulamaan agar perannya lebih relevan dengan kebutuhan sosial yang berkembang.
Rekonstruksi keulamaan mencakup pergeseran dari fokus utama pada pemahaman ilmu agama menjadi peran yang lebih luas dan multifaset. Ulama masa kini diharapkan tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga aktif dalam masalah sosial, lingkungan, dan keadilan. Ini berarti ulama harus terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan, penegakan hak asasi manusia, dan advokasi keadilan sosial. Peran mereka meluas untuk mencakup tanggung jawab sosial yang sejalan dengan prinsip-prinsip agama.
Secara metodologis, rekonstruksi keulamaan dapat dimulai dengan memperluas kurikulum pendidikan ulama. Program pendidikan yang selama ini berfokus pada studi agama perlu diintegrasikan dengan disiplin ilmu sosial, lingkungan, dan hukum. Pendekatan interdisipliner ini akan membekali ulama dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah kompleks dalam masyarakat modern. Epistemologisnya, ini memerlukan pengakuan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya berasal dari teks-teks agama, tetapi juga dari realitas sosial dan alam. Pengetahuan agama harus diintegrasikan dengan pengetahuan empiris dan analitis tentang masyarakat dan lingkungan. Ulama harus mengembangkan kemampuan untuk menginterpretasikan ajaran agama dalam konteks isu-isu kontemporer, menggunakan pendekatan kritis dan reflektif.
Ali Syariati menekankan perlunya ulama yang aktif dalam perjuangan sosial dan politik, serta menjadi agen perubahan yang berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan. Menurut Syariati, ulama harus berperan sebagai pemimpin masyarakat yang tidak hanya memahami agama tetapi juga realitas sosial. Syariati mengusulkan bahwa ulama harus menggunakan metodologi yang memadukan ajaran agama dengan analisis sosial. Dia menekankan pentingnya memahami konteks sejarah dan sosial dalam menafsirkan teks-teks agama. Ulama, menurut Syariati, harus menjadi intelektual organik yang mampu menggerakkan masyarakat menuju perubahan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Syariati, On the Sociology of Islam, p. 112).
Untuk merealisasikan rekonstruksi ini, ulama perlu mengembangkan keterampilan tambahan dan pemahaman yang lebih luas di luar konteks tradisional. Mereka harus dapat menerjemahkan ajaran agama ke dalam tindakan praktis yang mempengaruhi perubahan positif di masyarakat, seperti memberikan panduan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, berkontribusi dalam kebijakan publik yang adil, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, keulamaan yang direkonstruksi dapat memainkan peran kunci dalam memajukan masyarakat, menjaga lingkungan, dan menegakkan keadilan sosial sesuai dengan nilai-nilai Islam (Syariati, Religion vs. Religion, p. 89).
Mohammad Baqir al-Sadr menawarkan perspektif epistemologis yang relevan dalam rekonstruksi keulamaan ini. Al-Sadr menekankan pentingnya mengembangkan metodologi ilmu yang berakar pada prinsip-prinsip Islam namun terbuka terhadap pengetahuan empiris dan rasional. Dia berargumen bahwa ulama harus mampu memadukan pengetahuan agama dengan ilmu-ilmu kontemporer untuk menciptakan solusi yang sesuai dengan konteks zaman modern. Al-Sadr menekankan bahwa epistemologi Islam harus dinamis dan inklusif, mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Al-Sadr, Our Philosophy, p. 134).
Al-Sadr juga menekankan pentingnya ijtihad sebagai mekanisme untuk memperbarui pemahaman agama sesuai dengan perubahan zaman. Ijtihad, atau usaha intelektual untuk memahami dan menerapkan ajaran Islam, harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah yang dinamis. Ini memerlukan ulama yang tidak hanya menguasai teks-teks agama tetapi juga memiliki kemampuan analisis kritis terhadap realitas sosial. Dengan demikian, ijtihad menjadi alat penting dalam rekonstruksi keulamaan untuk memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan kontemporer (Al-Sadr, Principles of Islamic Jurisprudence, p. 57).
Rekonstruksi keulamaan juga melibatkan integrasi pengetahuan teoretis dengan praktik sosial yang nyata. Ulama harus mampu menerapkan prinsip-prinsip agama dalam upaya praktis untuk mengatasi isu-isu sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Ini berarti ulama harus berperan aktif dalam proyek-proyek sosial, bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, dan terlibat dalam advokasi kebijakan publik yang berkeadilan. Dengan cara ini, ulama dapat menjadi agen perubahan yang efektif, membuktikan relevansi ajaran Islam dalam konteks modern (Syariati, Reflections of Humanity, p. 105).
Salah satu aspek penting dari rekonstruksi ini adalah integrasi pengetahuan agama dengan ilmu-ilmu sosial dan lingkungan. Ulama tidak lagi bisa beroperasi di dalam silo yang terpisah dari isu-isu global seperti perubahan iklim, ketidakadilan ekonomi, atau ketidaksetaraan sosial. Pendidikan ulama harus dirancang untuk mencakup studi tentang dampak sosial dari kebijakan dan praktik agama, serta memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal ini akan memungkinkan ulama untuk memberikan panduan yang lebih relevan dan efektif dalam konteks modern.
Kemampuan ulama untuk berperan sebagai agen perubahan juga bergantung pada kemampuan mereka untuk bekerja sama dengan berbagai sektor masyarakat. Dalam masyarakat pluralistik dan multikultural, ulama harus mampu membangun dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah, pemerintah, dan komunitas internasional. Kerja sama ini sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan inklusif, serta untuk mempromosikan keadilan dan kesejahteraan secara lebih luas.
Implementasi dari rekonstruksi keulamaan juga memerlukan adanya perubahan dalam cara ulama terlibat dalam komunitas mereka. Alih-alih hanya berfokus pada fungsi-fungsi tradisional seperti memberikan ceramah dan nasihat, ulama harus mengambil peran aktif dalam proyek-proyek sosial dan kebijakan publik. Ini termasuk advokasi untuk hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, dan reformasi sosial yang adil. Dengan cara ini, ulama dapat menunjukkan relevansi ajaran Islam dalam praktik sehari-hari dan berkontribusi pada perbaikan masyarakat secara langsung.
Terakhir, rekonstruksi keulamaan memerlukan adanya pemikiran yang kritis dan reflektif dari ulama itu sendiri. Mereka harus mampu mengevaluasi dan menyesuaikan pendekatan mereka berdasarkan pengalaman dan feedback dari komunitas. Proses ini melibatkan penilaian terus-menerus terhadap efektivitas tindakan mereka dan keterbukaan terhadap perubahan. Dengan pendekatan yang adaptif dan responsif, ulama dapat memastikan bahwa mereka tetap relevan dan bermanfaat bagi masyarakat dalam konteks zaman yang terus berubah.
William Chittick berpendapat bahwa pengetahuan dalam tradisi Islam tidak hanya berfungsi untuk memahami teks-teks suci tetapi juga harus diterapkan dalam konteks sosial yang lebih luas. Dia menekankan bahwa ajaran agama harus diintegrasikan dengan realitas sosial, dan ulama harus memahami dinamika masyarakat untuk memberikan panduan yang sesuai (Chittick, The Self-Disclosure of God, p. 98).
Sachiko Murata juga menyoroti pentingnya pembaharuan dalam pendidikan ulama dengan memadukan ilmu agama dengan studi tentang masyarakat dan lingkungan. Menurut Murata, pemahaman tentang keadilan sosial dan keberlanjutan harus menjadi bagian integral dari pendidikan ulama untuk memastikan bahwa mereka dapat memenuhi peran mereka dengan efektif di dunia modern (Murata, The Tao of Islam, p. 145).
Dengan peran yang diperluas ini, ulama yang direkonstruksi dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam menghadapi berbagai tantangan zaman modern, memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan aplikatif dalam menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Melalui rekonstruksi ini, ulama tidak hanya berfungsi sebagai penjaga dan penyebar ajaran agama tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang mampu mengatasi berbagai masalah kontemporer. Mereka harus berperan sebagai mediator yang menghubungkan ajaran agama dengan realitas sosial, menciptakan jembatan antara tradisi dan modernitas. Dengan demikian, keulamaan yang direkonstruksi dapat memainkan peran yang lebih luas dan signifikan dalam membimbing umat menuju kesejahteraan yang holistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H