desa yang sederhana, dengan tembok yang dihiasi kalender tua dan papan pengumuman, Susan, sang Carik Desa, duduk bersama Driyan, teman lamanya yang kini menjabat sebagai Menteri Urusan Desa. Sebuah cangkir teh hangat di hadapan mereka, namun suasana lebih berat dari sekadar obrolan santai.
Di pojok ruang balaiSusan: "Yan, jujur saja, aku senang kamu datang ke desa ini. Tapi, aku juga harus bilang, kamu bikin repot kami para carik di desa."
Driyan: (tersenyum tipis) "Waduh, berat juga pembukaannya. Apa yang bikin kamu merasa repot, Sus?"
Susan: "Yan, ini soal peraturan-peraturan dari kementerianmu yang sering terlambat terbit. Kami di desa sudah musyawarah sama warga, misalnya untuk pembangunan, semuanya sudah sepakat. Tapi, tiba-tiba ada peraturan baru yang mengubah semuanya."
Driyan: (mengernyitkan dahi) "Contohnya gimana? Aku perlu tahu lebih spesifik."
Susan: "Contoh paling dekat, Yan, warga di sini sudah sepakat membangun jalan usaha tani atau irigasi sawah pakai anggaran ketahanan pangan. Nah, anggaran itu sesuai dengan aturan yang berlaku saat musyawarah. Tapi, beberapa minggu setelahnya, muncul peraturan baru dari kementerianmu yang melarang kegiatan itu dan harus untuk ini itu yang pengelolaanya harus begini begitu. Ibaratnya, kami sudah sepakat makan nasi soto. Nasi sudah di piring, sotonya sudah siap, tiba-tiba kamu bilang harus jadi nasi goreng. Apa nggak bikin pusing?"
Driyan: (menunduk sebentar, merenung) "Aku paham maksudmu. Jadi ini soal waktu penerbitan aturan ya? Kamu merasa terlalu sering keluar mendadak, sehingga bikin kalian harus mulai dari nol lagi."
Susan: "Betul, Yan. Kami harus mengulang musyawarah dengan warga. Itu tidak mudah. Warga itu bisa protes karena merasa hak mereka berubah. Dan setiap perubahan berarti waktu pembangunan terhambat."
Driyan: (menghela napas) "Aku mengerti, Sus. Masalahnya memang birokrasi di pusat tidak secepat yang kita harapkan. Tapi aku juga tidak mau itu jadi alasan. Kalau terus begini, kepercayaan masyarakat bisa menurun."
Susan: "Tepat sekali. Kami di sini sering kali dianggap lambat oleh warga, padahal akar masalahnya dari pusat. Kami yang di lapangan harus menghadapi protes. Kamu tahu sendiri, warga itu butuh hasil nyata, bukan penjelasan soal aturan."
Driyan: (mengangguk perlahan) "Sus, aku akan bawa masalah ini ke timku. Aku janji, kami akan cari cara agar aturan bisa dirancang dan diterbitkan lebih cepat. Mungkin kami juga perlu komunikasi lebih intens dengan desa-desa sebelum aturan diterbitkan, supaya tidak ada perubahan mendadak yang bikin ribet seperti ini."
Susan: "Itu harapan kami, Yan. Desa ini butuh kepastian untuk bisa bergerak maju. Kalau peraturan pusat nggak sinkron dengan kebutuhan di lapangan, kami yang di bawah jadi korban. Cobalah bikin aturan waktunya yang tepat "
Driyan: (tersenyum, meski tampak serius) "Aku dengar keluhanmu, Sus. Dan aku senang kamu bicara langsung. Kalau aku nggak dapat masukan dari kamu, aku mungkin nggak sadar efek dari kebijakan yang kami buat di atas meja."
Susan: "Aku percaya kamu bisa mengubah ini, Yan. Asal jangan lupa, di desa, semua berawal dari musyawarah. Jangan sampai kebijakanmu malah menghambat apa yang sudah jadi kesepakatan warga."
Driyan: "Aku janji, aku akan usahakan. Untuk kamu, untuk desa, dan untuk semua carik yang sudah bekerja keras seperti kamu."
Susan: (tersenyum kecil) "Kalau gitu, aku anggap cangkir teh ini jadi awal komitmenmu."
Driyan: (mengangkat cangkirnya) "Deal, Sus. Kita buat perubahan yang lebih baik."
Perbincangan itu berakhir dengan optimisme, meski tantangan besar masih menanti di depan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H