3. Jasa: Asuransi Syariah (Takaful)
Dalam jasa keuangan syariah, salah satu produk populer adalah asuransi syariah atau takaful. Di sini, para peserta saling berkontribusi untuk membantu satu sama lain dalam menghadapi risiko tertentu. Namun, karena sifat asuransi yang berbasis ketidakpastian, muncul sedikit gharar dalam bentuk kapan atau apakah seseorang akan mengajukan klaim.
Gharar yang Ditolerir: Dalam konteks takaful, ketidakpastian ini ditolerir karena akadnya bersifat tolong-menolong, dan semua pihak memahami bahwa kontribusi yang diberikan adalah bentuk solidaritas sosial. Selama ketidakpastian ini tidak mengarah pada spekulasi berlebihan atau eksploitasi, asuransi syariah diperbolehkan.
Gharar yang Dilarang: Namun, jika dalam penerapan takaful, ada ketidakjelasan dalam syarat-syarat klaim atau pengelolaan dana, misalnya peserta kesulitan melakukan klaim karena prosedur yang tidak transparan, ini bisa menjadi bentuk gharar besar yang dilarang. Ketidakpastian yang merugikan peserta dalam jangka panjang tidak diperbolehkan.
Indikator Gharar yang Ditolerir dan Gharar yang Dilarang
Untuk bisa membedakan antara gharar yang bisa diterima dan yang dilarang, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan:
1. Besar Kecilnya Gharar: Jika ketidakpastian dalam transaksi relatif kecil dan tidak terlalu memengaruhi hasil akhir, gharar ini masih bisa ditolerir. Contohnya, ketidakpastian kecil dalam jual beli hasil panen yang masih tumbuh. Namun, kalau ketidakpastiannya besar dan bisa menyebabkan salah satu pihak rugi besar, maka gharar ini dilarang.
2. Kejelasan Objek Transaksi: Jika barang atau jasa yang diperdagangkan jelas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, maka gharar yang ada bisa ditolerir. Namun, jika objek transaksi tidak jelas, atau bahkan tidak ada, seperti menjual sesuatu yang belum wujud atau tidak bisa dipastikan, maka ini sudah menjadi gharar besar.
3. Dampak Terhadap Keadilan: Jika ketidakpastian tidak menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan, gharar ini masih diperbolehkan. Tapi, jika ketidakpastian tersebut membuat salah satu pihak dirugikan secara signifikan, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah menurut syariah.
4. Adat atau Kebiasaan Umum: Gharar yang sesuai dengan praktik umum atau adat dalam suatu industri bisa ditolerir. Misalnya, jual beli hasil panen yang masih di ladang adalah praktik umum di sektor pertanian. Namun, jika ketidakpastian tersebut tidak sesuai dengan adat atau praktik umum, ini bisa jadi gharar yang dilarang.
5. Ketersediaan Informasi: Jika informasi yang diberikan kepada kedua belah pihak cukup dan memungkinkan mereka membuat keputusan yang tepat, gharar ini bisa diterima. Namun, jika informasi yang relevan disembunyikan atau tidak tersedia, ini bisa menjadi gharar yang dilarang. Transparansi informasi sangat penting dalam transaksi untuk memastikan bahwa kedua belah pihak memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa yang mereka setujui.