Mohon tunggu...
Abdillah Toha
Abdillah Toha Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Berebut DKI Satu

16 September 2016   02:17 Diperbarui: 16 September 2016   02:26 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada pertimbangan lain yang harus diakui masih sangat spekulatif, mengapa PDIP akhirnya akan menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Ahok Djarot. Seperti kita ketahui bukan rahasia lagi, hubungan RI 1 dengan Ahok sangat mesra. Rasanya belum pernah ada seorang gubernur DKI yang begitu sering keluar masuk istana presiden untuk "konsultasi". 

Karenanya ada spekulasi bahwa pada pilpres 2019 bukan tidak mungkin Jokowi akan mengandeng Ahok sebagai cawapres. Jusuf Kalla sendiri sudah pernah mengatakan hanya akan menjabat wapres satu periode. Dengan perhitungan itu maka jika pasangan Ahok Djarot terpilih, posisi gubernur DKI akan dijabat Ahok hanya selama dua setengah tahun dan kader PDIP yang menjadi wagub akan menduduki posisi gubernur DKI.

Namun, ada pertanyaan yang tidak mudah dijawab yakni seberapa jauh sumbangan partai pendukung pada perolehan suara kandidat kepala daerah? Apakah perolehan suara calon akan lebih banyak bila didukung lebih banyak parpol? Pengalaman terakhir di Jakarta menunjukkan justru sang kandidat merupakan faktor penunjang perolehan kursi parpol di DPRD. Kursi PDIP di DPRD DKI melonjak drastis dua setengah kali lebih dari 11 menjadi 28 ketika PDIP mengusung Jokowi sebagai calon gubernur. Dengan makin mudahnya akses terhadap informasi dan makin rasionalnya pemilih Indonesia, figur calon lebih menentukan daripada partai pengusungnya. Parpol lebih membutuhkan calon yang elektibilitasnya tinggi dan bukan sebaliknya.

Betapapun, daya tawar parpol masih tetap tinggi karena seperti telah kita saksikan, banyak halangan dibuat oleh parpol agar calon sulit maju secara independen. Inilah yang menjadi penyebab adanya praktik mahar yang diminta oleh parpol dari calon yang diusung. Bila bukan mahar, parpol pengusung paling tidak akan memaksa agar kadernya diterima sebagai pasangan pendamping.

Dukungan parpol juga bisa sangat bermakna terutama parpol yang "kaya", bagi pendanaan kampanye. Diluar itu, dukungan parpol juga akan memudahkan mobilisasi masa kampanye terutama oleh parpol yang punya pendukung fanatik.

Walapun kita sering mendengar bantahan dari fungsionaris parpol, sesungguhnya tidak benar dan tidak ada parpol yang memberi dukungan gratis dan tidak mengharap balas jasa apa-apa dari calon yang didukungnya bila terpilih. Balas jasa itu bisa dalam bentuk ikut menentukan program dan kebijakan calon terpilih sekaligus proyek-proyek yang diarahkan kepada bisnis fungsionaris partai, atau penempatan kader-kader partai di posisi-posisi echelon dibawah calon.

Itulah kenyataan pahit praktik demokrasi kita sejauh ini yang perlu diperhatikan oleh warga masyarakat dalam pemilu. Idealnya kita arahkan suara kita kepada figur calon yang terbaik yang juga didukung oleh parpol yang relatif bersih dari catatan perjalanannya selama ini.

Kita tunggu sebelum akhir minggu ini pengumuman siapa saja yang akhirnya akan maju dalam perebutan posisi orang nomor satu di DKI Februari tahun depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun