Kasus Kekerasan Gender Berbasis Online yang pernah terjadi di indonesia
Jenis kasus Kekerasan NCII ini banyak dialami oleh kalangan perempuan. Bahkan, beberapa waktu lalu jenis kasus ini pernah menyeret nama aktris Indonesia. Berawal dari penyebaran video intim yang diduga berisi seorang artis yang berinisial RC oleh oknum yang dahulu mantan pasangannya melalui platform media sosial X (Twitter) dan Telegram.
Berdasarkan laporan dari Viva.co.id, mantan kekasihnya sering mengintimidasi korban karena enggan menerima akhir hubungan mereka. Tim pengacara RC mengungkapkan bahwa korban diancam dan diperas dengan tuntutan sebesar 30 juta rupiah. Kejadian ini menjadi contoh nyata bahwa NCII merupakan kejahatan yang memerlukan perhatian serius. Kekerasan semacam ini bisa berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik korban.
Selain itu, Sabrina Elsa (24) pernah menjadi korban dari Cyber Recuitment di salah satu website yang menurutnya ilegal. Ketika ia pertama kali mengakses website tersebut untuk mengisi formulir lamaran.
Perempuan tersebut merasa aneh karena pada formulir lamaran yang meminta data pribadi seperti foto Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga nama dan data pribadi saudara terdekatnya. Tetapi, disebabkan ia sangat membutuhkan pekerjaan pada saat itu akhirnya ia menepis rasa curiga pada website tersebut.
"Awalnya dapat informasi dari media sosial dan berhubung saya sedang mencari pekerjaan, saya langsung saja lamar di website yang tertera. setelah menunggu lama, saya coba untuk buka kembali ke websitenya. Pas saya cek ulang , website dari perusahaan tersebut tiba-tiba lenyap , saya merasa cemas. Saya khawatir informasi pribadi saya mungkin telah disalahgunakan," ungkap Sabrina saat diwawancarai via aplikasi WhastApp pada jumat (5/01)
Berkaca dari dua kasus KBGO dari sekian banyak laporan kasus lainnya, hal ini termasuk dampak dan ancaman buruk digital. Peningkatan kasus ini dipicu oleh kemajuan teknologi yang tidak disertai dengan pemahaman yang memadai terhadap cara penggunaannya.
Opini publik seputar kasus tersebut sering kali menyalahkan korban (victim-blaming) dan merendahkan perilaku (slut-shaming). Ketidakmampuan sistem hukum juga memberikan keberanian kepada pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.
Melansir dari laman Jakarta Feminist.com, Manajer Advokasi Lintas Feminis Jakarta Naila Rizqi Zakiah bahwa meminta bahwa negara wajib memberi perlindungan atas korban KBGO karena publik cenderung menyalahkan korban KBGO. Hal tersebut membuat korban sungkan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.
“Ini bukan kasus pertama, di mana korban malah dijadikan pelaku dalam kasus penyebaran konten intim non konsensual. Harusnya publik dan penegak hukum menyadari bahwa dalam kasus tersebarnya konten intim ada korban yang dilecehkan, direndahkan, dan dilanggar hak atas privasinya. Negara wajib memberikan perlindungan pada korban bukannya malah membiarkan korban dikriminalisasi atau disebar ulang kontennya” Ujar Naila
Penting untuk dipahami bahwa KBGO bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan ketidaksetaraan gender dan norma sosial yang masih ada di masyarakat. Dalam menghadapi isu ini, perlu dilakukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga penegak hukum, platform media sosial, organisasi masyarakat, dan juga individu untuk mencegah dan menanggulangi KBGO.