Mohon tunggu...
Abriel Okta Rosetta
Abriel Okta Rosetta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta

Mahasiswi yang tertarik dengan bidang kepenulisan dan desain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pengaruh Kemajuan Teknologi Komunikasi Terhadap Peningkatan Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia

9 Januari 2024   22:43 Diperbarui: 10 Januari 2024   10:36 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam era kemajuan teknologi komunikasi yang luas, hadir media sosial yang telah menjadi platform umum yang banyak digunakan masyarakat. Seiring dengan peningkatan penggunaan smartphone, media sosial menjadi platform daring yang digunakan oleh banyak orang untuk berinteraksi satu sama lain secara mudah tanpa terbatas oleh batasan ruang dan waktu.

Terlebih pada masa pandemi COVID-19 yang memberi ruang terbatas bagi seseorang untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena besarnya risiko terpapar Virus Corona. Akibatnya, seluruh kegiatan yang biasanya dapat dilakukan di luar rumah dialihkan menjadi online. 

Hal tersebut membuat intensitas penggunaan platform digital meningkat dibandingkan sebelum pandemi. Penggunaan platform digital ini tidak hanya memberikan nilai positif, tetapi juga memberikan dampak buruk seperti maraknya kejahatan yang muncul dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, salah satunya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

DEFINISI KBGO DAN APA SAJA BENTUKNYA 

Menurut laporan yang disusun oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), merujuk Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) KBGO merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di dunia maya. 

Tindak kekerasan ini biasanya memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender. Jika tidak, tindak kekerasan tersebut masih termasuk dalam kekerasan umum di ranah online. 

Ada tiga kelompok orang yang paling berisiko mengalami KBGO berdasarkan Riset Association for Progressive Communications (APC). Antara lain seseorang yang terlibat hubungan intim, kelompok profesional yang terlibat dalam ekspresi publik (aktivis, jurnalis, penulis, peneliti, musisi, hingga aktor), serta penyintas dan korban penyerangan fisik.

Jika mengikuti data jumlah Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), pada tahun 2022 lalu tercatat dalam laporan LBH APIK ((Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan) mencapai 440 kasus. Sedangkan saat pandemi covid-19  melanda yaitu pada tahun 2020 telah terjadi 307 kasus yang dilaporkan dalam kategori KBGO. Jumlah ini terus bertambah banyak pada tahun 2021, totalnya hingga mencapai 489 kasus KBGO.

Berdasarkan data pada catatan tahunan Komnas Perempuan 2019 yang merilis klasifikasi  jenis laporan-laporan kekerasan yang terjadi di dunia maya.  Ada beberapa tipe atau jenis KBGO, Yakni Revenge Porn atau Non-Consensual Intimate Images (NCII), Malicious Distribution, Cyber Harassment (Pelecehan Dunia Maya), Impersonation (Peniruan Identitas), Cyber Stalking, Cyber Recruitment, Sexting, Cyber Hacking (Peretasan), dan Morphing.

Dengan mengacu dari catatan tersebut, jumlah laporan kasus berdasarkan jenis KBGO menyatakan bahwa kasus yang paling banyak dilaporkan adalah Non-Consensual Intimate Images atau biasa disingkat dengan NCII yang mencapai 33% kasus. NCII adalah penyebaran konten intim non konsensual, tipe kekerasan ini biasanya terjadi saat pelaku memanfaatkan konten intim/seksual (gambar ataupun video) milik korban dan tanpa persetujuannya. Tujuan penyebaran konten tersebut biasanya semata-mata untuk mengintimidasi atau mengancam korban agar keinginan pelaku terpenuhi.

 Kasus Kekerasan Gender Berbasis Online yang pernah terjadi di indonesia

Jenis kasus Kekerasan NCII ini banyak dialami oleh kalangan perempuan. Bahkan, beberapa waktu lalu jenis kasus ini pernah menyeret nama aktris Indonesia. Berawal dari penyebaran video intim yang diduga berisi seorang artis yang berinisial RC oleh oknum yang dahulu mantan pasangannya melalui platform media sosial X (Twitter) dan Telegram. 

Berdasarkan laporan dari Viva.co.id, mantan kekasihnya sering mengintimidasi korban karena enggan menerima akhir hubungan mereka. Tim pengacara RC mengungkapkan bahwa korban diancam dan diperas dengan tuntutan sebesar 30 juta rupiah. Kejadian ini menjadi contoh nyata bahwa NCII merupakan kejahatan yang memerlukan perhatian serius. Kekerasan semacam ini bisa berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik korban.

Selain itu, Sabrina Elsa (24) pernah menjadi korban dari Cyber Recuitment di salah satu website yang menurutnya ilegal. Ketika ia pertama kali mengakses website tersebut untuk mengisi formulir lamaran. 

Perempuan tersebut merasa aneh karena pada formulir lamaran yang meminta data pribadi seperti foto Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), hingga nama dan data pribadi saudara terdekatnya. Tetapi, disebabkan ia sangat membutuhkan pekerjaan pada saat itu akhirnya ia menepis rasa curiga pada website tersebut.

"Awalnya dapat informasi dari media sosial dan berhubung saya sedang mencari pekerjaan, saya langsung saja lamar di website yang tertera. setelah menunggu lama, saya coba untuk buka kembali ke websitenya. Pas saya cek ulang , website dari perusahaan tersebut tiba-tiba lenyap , saya merasa cemas. Saya khawatir informasi pribadi saya mungkin telah disalahgunakan," ungkap Sabrina saat diwawancarai via aplikasi WhastApp pada jumat (5/01)

Berkaca dari dua kasus KBGO dari sekian banyak laporan kasus lainnya, hal ini termasuk dampak dan ancaman buruk digital. Peningkatan kasus ini dipicu oleh kemajuan teknologi yang tidak disertai dengan pemahaman yang memadai terhadap cara penggunaannya. 

Opini publik seputar kasus tersebut sering kali menyalahkan korban (victim-blaming) dan merendahkan perilaku (slut-shaming). Ketidakmampuan sistem hukum juga memberikan keberanian kepada pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.

Melansir dari laman Jakarta Feminist.com, Manajer Advokasi Lintas Feminis Jakarta Naila Rizqi Zakiah bahwa meminta bahwa negara  wajib memberi perlindungan atas korban KBGO karena publik cenderung menyalahkan korban KBGO. Hal tersebut membuat korban sungkan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.

“Ini bukan kasus pertama, di mana korban malah dijadikan pelaku dalam kasus penyebaran konten intim non konsensual. Harusnya publik dan penegak hukum menyadari bahwa dalam kasus tersebarnya konten intim ada korban yang dilecehkan, direndahkan, dan dilanggar hak atas privasinya. Negara wajib memberikan perlindungan pada korban bukannya malah membiarkan korban dikriminalisasi atau disebar ulang kontennya” Ujar Naila

Penting untuk dipahami bahwa KBGO bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan ketidaksetaraan gender dan norma sosial yang masih ada di masyarakat. Dalam menghadapi isu ini, perlu dilakukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga penegak hukum, platform media sosial, organisasi masyarakat, dan juga individu untuk mencegah dan menanggulangi KBGO.

Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku KBGO, edukasi yang lebih luas mengenai penggunaan yang bertanggung jawab dan etika di media sosial, serta memperkuat dukungan bagi korban KBGO. Selain itu, penting juga untuk mengubah norma sosial yang membenarkan atau mengabaikan perilaku berbahaya di dunia maya, dan mendorong kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan penghormatan terhadap individu secara online. 

Penulis: Abriel Okta Rosetta, Mahasiswi semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun