Isu dunia sekaligus fenomena pada tahun 2020 yang sedang terjadi dan masih berlangsung yakni terkait adanya wabah pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) yang turut berdampak pada sektor industri mencakup beberapa kebijakan social distancing di beberapa wilayah, salah satunya di pusat Ibu Kota Indonesia yakni Jakarta ini.
Dimana kebijakan social distancing ini berkaitan dengan penutupan area-area pusat perbelanjaan yang dapat berdampak langsung pada kehidupan industri ritel, perhotelan, serta para Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki hambatan untuk beroperasi atas dasar mentaati protokol yang menyesuaikan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga dikarenakan hal tersebut, beberapa industri memilih untuk menekan anggaran biaya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
Di samping itu, daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang menurun dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok juga karena banyaknya dari mereka yang terkena imbas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (CSIS, 2020). Sehingga apabila ditelaah, kesejahteraan masyarakat bagaikan angka 8, dimana berputar-putar oleh mekanisme sebab-akibat ketika masyarakat dan pemerintah sama-sama bersinergi untuk menekan angka penyebaran Covid-19 sendiri.
Sedangkan dapat ditelaah bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki filsafat kehidupan. Menurut teori oleh Kaelan (2005), diketahui bahwa Pancasila merupakan filsafat negara Indonesia yang berkedudukan khusus untuk menjadi pemantik pemerintah Indonesia dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat-rakyatnya (Kaelan, 2005), pun di era pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Apabila saya menelisik berdasarkan sejarah, Pancasila merupakan salah satu hasil dari rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diperuntukkan untuk membangun negara yang memiliki cita-cita tinggi dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sehingga, Pancasila melalui ke-5 sila, menjadi sebuah ideologi atau cara pandang rakyat Indonesia secara harfiah.
Perkembangan Pancasila sendiri berjalan sangat dinamis mengikuti rezim dimana pemerintahan tergantikan, maka dari itu, dapat ditelaah bahwa implementasi dari Pancasila dengan ke-5 silanya sangat bergantung dari para kaum elit khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rakyat Indonesia sebagai salah satu parlementer di Indonesia yang termasuk dari bagian kelembagaan legislatif.
Terkait adanya wabah Corona Virus Disease (COVID-19) ini, jajaran pemerintahan legislatif yang dihadapkan oleh berbagai tugas yang berkenaan dengan pengendalian penyebaran COVID-19 lewat kebijakan-kebijakan yang diberikan dan dikembangkan menjadi produk hukum seperti peraturan, dan perundang-undangan.
Namun hal yang menggelitik bagi saya yaitu salah satu tindakan pembuatan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang sempat digaungkan pada awal tahun 2020 ini.
Pada bulan Februari tahun 2020 lalu, telah terjadi konflik yang cukup memanas antara serikat buruh atas keputusan Omnibus Law RUU tentang cipta lapangan kerja. Banyak intrik dalam melanggengkan Omnibus Law, khususnya terkait opini salah ketik pasal 170 tentang kewenangan Presiden terkait Peraturan Pemerintah (PP) dalam mengambil alih Undang-Undang.
Sedangkan tentu pasal tersebut tidak selaras dengan Pasal 22 UUD 1945 yang memberikan gagasan bahwa Perpu hanya bersifat produk hukum yang sah untuk mengganti Undang-Undang apabila terdapat sebuah permasalahan yang genting, dimana pada bulan Februari sendiri, isu Covid-19 sudah menjadi isu hangat di dunia global yang seharusnya pemerintah beserta kelembagaan legislatif berupaya untuk menghalau pandemi tersebut secara lebih dini, karena kembali lagi, pemerintah dihadapkan oleh filsafah Pancasila dimana kepentingan rakyat merupakan hal yang sangat krusial apabila disangkutpautkan dengan sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Dengan demikian, segala tindakan yang dilakukan pemerintah seharusnya berfokus pada apa yang dibutuhkan dan diprioritaskan kepada masyarakat.
Secara garis besar, menurut saya, keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tentu tidak akan dapat diterapkan secara berkelanjutan apabila menelaah situasi Covid-19 ini, dimana di masa depan, para pejabat elit parlementer harus memiliki perundang-undangan yang difungsikan untuk memitigasi dan melindungi kesejahteraan dari para buruh apabila wabah pandemi datang kembali dengan dampak-dampak yang sama, yaitu meruntuhkan pilar-pilar industri.
Idiom demokrasi yang mengatasnamakan filsafat pancasila untuk asas kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan bernegara, harus sesuai pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta persatuan kerakyatan, dan keadilan.Â
Kembali lagi, permasalahan relevansi RUU Omnibus law sangat bergantung dari keberadaan para kaum legislatif, dimana hal tersebut tentunya kapasitas dan kewajiban dari para pemimpin negeri ini. Mengapa?
Karena keberadaan Pancasila atas Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan harus ditegakkan dan dilihat kualitasnya dari keberadaan pihak DPR dalam meningkatkan kesejahteraan para buruh di era pandemi ini.
Dimana tidak hanya berkutat pada sila ke-4, melainkan juga sila ke-5 terkait Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dimana keluhan para buruh atas kebijakan yang dicanangkan oleh DPR-RI harus didengarkan, ditelaah, dan juga ditindaklanjuti, dimana rangkaian tersebut merupakan wujud dari dinamika implementasi Pancasila pada setiap fase kehidupan bernegara.
Wacana Omnibus Law Cipta Kerja apabila dikaitkan dengan keberadaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, memiliki sejumlah bias yang sangat signifikan karena permasalahan omnibus law terkait penyinggungan ketiadaan aturan nilai pesangon, dianggap tidak selaras dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu terkait ketiadaan sanksi pidana bagi perusahaan, juga tentunya dapat menekan ruang gerak dari para buruh untuk mendapatkan sebuah keadilan apabila terjadi konflik maupun wanprestasi di masa depan.
Dapat dilihat ketika terjadi pandemi Covid-19 ini, banyak dari para buruh tidak memperoleh keadilan dengan adanya korporasi atau industri yang melakukan skema 'merumahkan para pegawai tanpa adanya upah', atau meniadakan insentif dan bonus-bonus Tunjangan Hari Raya (karena Covid-19 sendiri turut melewati fase Hari Raya Besar Islam), maupun melakukan Work From Home tanpa adanya bantuan subsidi listrik dan juga kouta internet, maupun adanya mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia seolah-olah dikerdilkan dengan adanya perubahan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan oleh Omnibus Law Cipta Kerja. Â Sedangkan hukuman perihal administrasi dan perdata oleh para pelaku usaha yang melakukan diskriminasi hingga wanprestasi kepada buruh, dinilai tidak cukup untuk membuat para oknum (perusahaan yang tidak memenuhi perjanjian kontrak) merasa kapok telah mengambil hak-hak para tenaga kerja.
Ditambah lagi tentang konsep eksploitasi kerja yang sangat menciderai sila ke-5 dari Pancasila tersebut. Pada RUU Omnibus Law pasal 79 diketahui telah merubah poin 22 pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait waktu istirahat kerja yang dibebankan 30 menit setelah bekerja selama 4 jam dan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.
Sehingga hal tersebut diasumsikan bahwa 6 hari secara penuh buruh bekerja pada perusahaan, dimana hal tersebut termasuk ke dalam ranah eksploitasi karena beban kerja juga akan semakin meningkat, dan menyalahi pasal 79 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa istirahat mingguan yakni 1 hari dari 6 hari, atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu, dimana hal tersebut mengindikasikan adanya pilihan varian istirahat yang dapat disepakati antara perusahaan dan buruh.
Sedangkan rangkaian tersebut tidak diiringi dengan adanya pasal-pasal yang menegaskan untuk menambah jaminan kesehatan dari para buruh. Dimana salah satunya, ketika wabah Covid-19 ini, banyak korporasi atau perusahaan yang tidak memberikan penjaminan keselamatan kerja dengan penyediaan handsanitizer maupun masker yang memadai, atau menjamin subsidi listrik dan internet ketika melakukan Work From Home.Â
Sedangkan seharusnya, keberadaan Perundang-undangan yang bersifat mengganti, seharusnya memiliki prinsip untuk memperbaiki perundang-undangan yang lama dengan konsep dan kebijakan yang lebih baik. Bukan malah melakukan sebuah kemunduran yang luar biasa.
Dengan demikian, sehingga saya harapkan, para pemangku legislatif yang membuat Undang-Undang beserta eksekutif yang menge-sahkan, dapat meninjau kembali keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja ini dari kacamata kemanusiaan dan juga dari sudut pandang filsafat Pancasila sebagai ideologi cara pemimpin melindungi kesejahteraan dengan konsep keadilan tanpa memandang bulu, karena pada dasarnya buruh bukanlah bawahan, melainkan para SDM yang memiliki produktivitas bagi kesinambungan korporasi serta negara.
Sedangkan dengan adanya wabah Covid-19 ini, seharusnya dapat dijadikan pembelajaran untuk meningkatkan kesejahteraan dari kerentanan kehidupan bara buruh selama ini, dimana kesinambungan dari Omnibus Law Cipta Kerja dapat dinilai secara dini apabila RUU ini benar-benar diimplementasikan secara menyeluruh bagi keberlanjutan sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H