Idiom demokrasi yang mengatasnamakan filsafat pancasila untuk asas kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan bernegara, harus sesuai pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta persatuan kerakyatan, dan keadilan.Â
Kembali lagi, permasalahan relevansi RUU Omnibus law sangat bergantung dari keberadaan para kaum legislatif, dimana hal tersebut tentunya kapasitas dan kewajiban dari para pemimpin negeri ini. Mengapa?
Karena keberadaan Pancasila atas Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan harus ditegakkan dan dilihat kualitasnya dari keberadaan pihak DPR dalam meningkatkan kesejahteraan para buruh di era pandemi ini.
Dimana tidak hanya berkutat pada sila ke-4, melainkan juga sila ke-5 terkait Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dimana keluhan para buruh atas kebijakan yang dicanangkan oleh DPR-RI harus didengarkan, ditelaah, dan juga ditindaklanjuti, dimana rangkaian tersebut merupakan wujud dari dinamika implementasi Pancasila pada setiap fase kehidupan bernegara.
Wacana Omnibus Law Cipta Kerja apabila dikaitkan dengan keberadaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, memiliki sejumlah bias yang sangat signifikan karena permasalahan omnibus law terkait penyinggungan ketiadaan aturan nilai pesangon, dianggap tidak selaras dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu terkait ketiadaan sanksi pidana bagi perusahaan, juga tentunya dapat menekan ruang gerak dari para buruh untuk mendapatkan sebuah keadilan apabila terjadi konflik maupun wanprestasi di masa depan.
Dapat dilihat ketika terjadi pandemi Covid-19 ini, banyak dari para buruh tidak memperoleh keadilan dengan adanya korporasi atau industri yang melakukan skema 'merumahkan para pegawai tanpa adanya upah', atau meniadakan insentif dan bonus-bonus Tunjangan Hari Raya (karena Covid-19 sendiri turut melewati fase Hari Raya Besar Islam), maupun melakukan Work From Home tanpa adanya bantuan subsidi listrik dan juga kouta internet, maupun adanya mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia seolah-olah dikerdilkan dengan adanya perubahan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan oleh Omnibus Law Cipta Kerja. Â Sedangkan hukuman perihal administrasi dan perdata oleh para pelaku usaha yang melakukan diskriminasi hingga wanprestasi kepada buruh, dinilai tidak cukup untuk membuat para oknum (perusahaan yang tidak memenuhi perjanjian kontrak) merasa kapok telah mengambil hak-hak para tenaga kerja.
Ditambah lagi tentang konsep eksploitasi kerja yang sangat menciderai sila ke-5 dari Pancasila tersebut. Pada RUU Omnibus Law pasal 79 diketahui telah merubah poin 22 pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait waktu istirahat kerja yang dibebankan 30 menit setelah bekerja selama 4 jam dan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.
Sehingga hal tersebut diasumsikan bahwa 6 hari secara penuh buruh bekerja pada perusahaan, dimana hal tersebut termasuk ke dalam ranah eksploitasi karena beban kerja juga akan semakin meningkat, dan menyalahi pasal 79 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa istirahat mingguan yakni 1 hari dari 6 hari, atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu, dimana hal tersebut mengindikasikan adanya pilihan varian istirahat yang dapat disepakati antara perusahaan dan buruh.
Sedangkan rangkaian tersebut tidak diiringi dengan adanya pasal-pasal yang menegaskan untuk menambah jaminan kesehatan dari para buruh. Dimana salah satunya, ketika wabah Covid-19 ini, banyak korporasi atau perusahaan yang tidak memberikan penjaminan keselamatan kerja dengan penyediaan handsanitizer maupun masker yang memadai, atau menjamin subsidi listrik dan internet ketika melakukan Work From Home.Â