Mohon tunggu...
Abraham Ethan M.S.M
Abraham Ethan M.S.M Mohon Tunggu... Lainnya - Founder @tunahukum

Abraham Ethan Martupa Sahat Marune is a law enthusiast. Abraham started his undergraduate education with a law degree at the Universitas Pelita Harapan graduated Cum Laude in 3 years and he’s currently continuing his postgraduate education at the Faculty of Law Universitas Pelita Harapan. Abraham started his career as an intern at the Jakarta Attorney General's Office, then continued his career at one of the largest life insurance companies in Indonesia. Now he’s a vice director at Ampuan Situmeang and Partners Law Office, an over 30 years of practice experience law firm in Batam and Jakarta. Abraham is also active in providing legal education to the public through social media @tunahukum with more than 150k followers, actively writing and publishing reputable national/international legal journals, and active as a speaker in national to international discussions/seminars/conferences.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Benarkah Revisi UU KPK Mengancam Eksistensi KPK?

27 Mei 2020   15:05 Diperbarui: 27 Mei 2020   15:03 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 III. Rules 

  • UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
  • Bab X pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
  • Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

IV. Analysis

Wacana revisi UU KPK bukanlah barang baru. DPR telah mewacanakan ini sejak 2010 atau sejak masa pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu DPR periode 2009-2014 pernah beberapa kali ingin merevisi UU KPK, tapi beberapa kali pula tak jadi dilakukan. Semangat untuk merevisi UU KPK ini pun berlanjut pada DPR periode sekarang, yang notabene akan habis masa jabatannya akhir bulan ini. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 26 Januari 2016, DPR pernah menyepakati revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 prioritas.

Poin-poin yang ada di dalam draf revisi UU KPK saat ini mirip dengan hasil Pansus Hak Angket terhadap KPK pada 2017. Sebut saja pembentukan dewan pengawasan, kewenangan KPK untuk menghentikan kasus atau SP3, hingga pegawai KPK yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara.[3]

Ada beberapa poin yang disorot dalam draf tersebut, salah satunya soal pembentukan Dewan Pengawas KPK. Poin ini diatur dalam Pasal 37. Tugas Dewan Pengawas KPK secara umum adalah mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dewan Pengawas ini bersifat nonstruktural dan mandiri yang berjumlah lima orang dan masa jabatan empat tahun.

Seseorang dapat menjadi Dewan Pengawas apabila ia berusia minimal 55 tahun dan tidak tergabung dalam partai politik. Dewan Pengawas dipilih oleh DPR berdasar usulan Presiden. Presiden sendiri dalam mengusulkan calon anggota Dewan Pengawas dibantu oleh Panitia Seleksi (Pansel).  Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas juga berwenang dalam 5 hal lainnya.

Pertama, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Kedua, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK. Ketiga, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.

Keempat, Dewan Pengawas juga bertugas untuk melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun. Kelima, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.

Meski mirip dengan tugas pimpinan KPK, Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani meyakini tidak akan tumpang tindih dengan posisi pimpinan KPK. Ia mengatakan, dalam revisi UU KPK itu telah diatur kewenangan Dewan Pengawas tidak boleh mengganggu independensi KPK.

Kewenangan penyadapan juga diperketat dalam draf revisi UU KPK saat ini. Pasal 12B menyebutkan, sebelum melakukan penyadapan pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK. Dalam hal ini, Dewan Pengawas dapat memberi izin atau tidak, paling lama 124 jam sejak permohonan diterima.

Setelah mengantongi izin Dewan Pengawas, KPK dapat melakukan penyadapan maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan. Menurut Pasal 12C, proses penyadapan harus dilaporkan ke Pimpinan KPK secara berkala. Penyadapan yang telah selesai juga harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta Dewan Pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun