Aku dan temanku, sebut saja Anya. Hidup berdampingan sudah cukup lama. Kami berdua beragama islam dalam pengakuan masing-masing.
Hingga pada akhirnya, suatu masa dia hendak bergegas pergi entah kemana.
Namun sebelum pergi, beliau agaknya tahu salah satu kegemaranku setiap harinya. Yaitu mendengarkan lagu-lagu bahasa asing, dalam hal ini bahasa yang dimaksud ialah bahasa Ibrani (Hebrew), bahasa yang lazimnya digunakan di kalangan bangsa Yahudi atau menjadi bahasa yang ada di kitab Injil perjanjian baru dan lama.
Sebelum dia meninggalkan kampung yang sudah lama kami mukimi bersama, waktu berselang sampailah di saat di mana permulaan begitu mengerikan bermula – bisa dibilang ini adalah akhir dari kisah hidupnya, juga yang paling menyedihkan adalah ini merupakan akhir dari jalinan persahabatan kami.
Ketika dia bergegas pergi dari kampung ini dia melihat kearahku dan berteriak keras (dengan bahasa Ibrani, namun kurasa dengan bahasa yang menyiratkan gurauan, dan mungkin maksudnya hanya hendak berpamitan jika aku tak salah kira.)
Anya: "Hai temanku sayang, Alfa. Tanah kita di sana apa tidak kamu ukur nda? Nanti kami jual supaya dapat banyak uang."
"הי חבר יקר, פאיזין. אתה לא מודד את אדמתנו שם? נמכור אותו בהמשך כדי להרוויח הרבה כסף."
Sahutnya dari kejauhan sambil mengayunkan tangan dan dengan wajah yang menampakkan gurauan.
Wajahnya lucu, namun responku menanggapi bicaranya yang terdengar dengan demikian sontak buatku cukup kaget dan bingung.
"Haaah! Aneh, dia bicara apa yah, kok bahasanya gak jelas, tapi terdengar seperti bahasa Ibrani, tapi aku masih tak mengerti lah, tak begitu dengar kan."
Sahutku dalam hati, sambil menganga bengong tak faham apa yang dia bicarakan.
Beberapa detik setelahnya, aku masih tak menyangka mengapa dia bisa berbicara seperti itu.
"Dia kok bisa ya bicara seperti itu. Agaknya dia bicara seperti lagu-lagu yang biasa aku dengarkan di kala senggang."
"Oh ya, tentu. Aku ingat sekarang, itu bahasa Ibrani, yaa."
"Ta..ta..tapi, bagaimana dia bisa tahu bahasa itu."
"Bagaimana mana caranya."
"Ku kira hanya aku muslim yang tahu bahasa Ibrani di kampung ini."
"Ku pikir, buat apa juga orang lain mau tahu bahasa ini. Sedangkan bahasa mereka sendiri mereka masih acak adul."
Ya, aku termasuk orang yang suka dengan bahasa-bahasa asing, bahasa-bahasa yang secara khusus memiliki ciri bentuk aksara yang unik, pun nadanya yang terdengar elok bila dilantunkan.
Anya masih terus menyambung langkahnya. Dia berjalan keluar menuju ke arah gerbang usang yang berdiri lapuk menjaga rumah tua kami, Anya bergegas untuk pamit pergi meninggalkan kampung ini.
Namun sebelum Anya pergi. Kulihat di tangannya sedikit terlihat menggantung dan menggelayut lambang kebanggaan pemeluk agama Yahudi yaitu Bintang Daud atau Magen Dawid.
Simbol itu menyala terang, memantulkan cahaya matahari sore yang cukup untuk menyilaukan penglihatan mataku.
"Astaghfirullah. Itu kannnn....."
Dalam hatiku tak habis pikir, kaget. Mataku terbelalak melihat benda yang dibawa oleh Anya di tangannya.
Rasaku yang penasaran menimbulkan tanda tanya besar, aku pun memberanikan diri untuk menghilangkan tanda tanya besar itu, aku menghentikan langkah Anya dengan memanggil namanya (dengan sedikit keragu-raguan).
"Hey Anya. Apa itu yang kau bawa!?."
"Annn. Kita kan sudah berteman hidup cukup lama, sini duduk bersamaku. Jujur saja, jangan kau rahasiakan sesuatu hal yang besar dari ku. Santai saja, aku tak akan beberkan rahasiamu ke siapapun, orang-orang kampung tidak akan ada yang tahu identitas aslimu, rahasia besarmu ini cukup kita berdua yang tahu, akan ku tutup rapat rahasia ini. Aku janji. Kamu tahu kan, aku gak pernah menyembunyikan hal sekecil apapun dengan mu, apalagi membohongi, sama sekali tidak pernah kan, Ann."
Kita berdua pun duduk bersama dan Anya bersedia menceritakan rahasia besarnya kepada ku.
Saat itu sedang sore sekitar ashar tepat. Suasana hangat nan semilir khas waktu sore hari.
Anya : "Iya Al. Aku mau jujur denganmu sebelum aku pergi dari meninggalkan kampung ini. Yaa, Tentang lambang ini. Tapi kau harus benar-benar janji untuk merahasiakan ini loo." (Bisik Anya dekat telingaku dengan jarak yang sangat dekat, khawatir rahasia besarnya di ketahui orang sekampung)
Aku : "iyaa Aannn, aku janji kok. Sumpah, seratus persen."
Umi : "bener loh ya."
Aku : "sumpah Ann."
Umi : "Iya Al, jujur tentang lambang bintang itu. Sebenarnya aku ini penganut Yahudi."
Aku : "Haaaaaaaaaah! Tuh kan bener dugaan ku. Kamu penganut Ya........Yahudi!" Teriakku yang sedikit terbata-bata.
Tak sampai aku melanjutkan pembicaraanku dengan Anya temanku, Ibu keluar melalui pintu rumah tua tepat ketika aku bicara pas pada kata "Yahudiii!?" Tentu si ibu kaget bukan kepalang. "Apaaaaaa!? Jadi kau ini Yahudi!" Sahut ibu dengan suara keras seperti Guntur, mengisyaratkan besar kemarahannya atas ketidakjujuran Anya selama ini. Beliau amat sangat kaget dan tidak menyangka, bertahun-tahun kok bisa ada seorang penganut Yahudi di ribuan mayoritas Islam di kampung ini. Beliau kira, ini sama saja kami bergaul dengan orang munafik (orang yang tidak jujur dan tidak mengakui agamanya sendiri; amat tak pantas diajak bergaul dan berkawanan).
"Tuhkaaannnn! Apa Kubilang Al. Seharusnya tidak usah kubiarkan saja rahasia ini kau ketahui. Sekarang semua hancuur." Sahut umi dengan menatapku marah, kecewa, dan sedih. Tak menyangka rahasia besarnya akan terbongkar oleh orang lain selain aku.
"Aku juga kan tidak tahu kalau ini akan terjadi An." Timpalku yang juga tidak percaya jika ibu akan keluar pintu dengan tiba-tiba.
Anya sangat marah dan langsung berlari meninggalkan rumah ini menuju pintu gerbang usang.
Namun suasana sudah terlanjur berubah mencekam. Dunia menjelma aura abu-abu. Samar-samar tak berwarna. Amat sangat mencekam dan menakutkan. Semua ini gara-gara hal yang tak terduga, rahasia besa Anya sebagai penganut Yahudi terbongkar.
Dalam benak ku berpikir, "Mengapa Anya sebegitu kecewanya, sedih dan marah besar? Lalu apa sebenarnya tujuan dia menyembunyikan imannya sendiri yang sejatinya itu hak asasi setiap manusi yang bernyawa yang melekat sejak mereka lahir. Padahal jika saja Anya berkenan jujur sedari awal mengenai Imannya dalam beragama Yahudi pastilah kami akan terima dengan lapang dada, tentulah kami akan saling mengerti satu sama lain dan berbahagia bersama selama-lamanya. Ataukah Anya ada tujuan terselubung? Tapi ah entahlah!"
Sebelum Anya pergi dan beranjak, aku berteriak menghentikannya.
"Jangan pergi dulu, Anya!"
"Yasudah lah An. Tidak usah marah besar seperti itu, mungkin kita hanya belum terbiasa saja. Soal kamu beragama Yahudi atau agama apapun, itu kan kepercayaan setiap masing-masing insan, bahkan kita masih bisa hidup bersama dan berteman meskipun kita berbeda iman. Agama bukan masalah An, itu hak yang sudah mutlak setiap manusia yang bernafas di belahan bumi manapun. Tenang saja, kita masih saudara sampai kapanpun." Teriak Ibu kepada Anya yang terlanjur wajahnya berapi-api (murka).
"Oh Tuhan. Mengapa jadi seperti ini. Padahal kami sudah hidup sekian lama bersama. Manusia macam apa yang tidak mau mendengarkan saudaranya, Manusia macam apa yang tidak berkenan menerima keadaan saudaranya. Mengapa dia sebegitu marahnya padaku. Aku mohon sadarkan dia." Sahutku berpuisi menyindir Anya dengan harap dia membatalkan perjalanannya dan akan kembali.
Walhasil, dia benar kembali.
Namun hal yang tak kami inginkan dimulai, petaka mengerikan berawal dari sini.
Anya menghampiriku dengan wajah yang memerah dan menakutkan seakan-akan menjelma iblis.
Dia menatapku tajam sampai-sampai aku gemetaran dan takut dia bertindak nekad.
Anya : "Aku sudah peringatkanmu tadi, begini kan jadinya. Rencanaku hancur, kacau. Dan sekarang aku sudah hilang kesabaran."
Aku : "Sabar An, coba pelan-pelan kau ingat, kan kita sudah lama hidup bersama. Masa begitu saja marahmu luar biasa seperti itu An. Tenanglah tenang, cobalah tenang sedikit, dinginkan kepalamu, marah itu petaka dan membuat perkara, bukannya menyelesaikan masalah."
Anya : "Sabar katamu haa! Rahasiaku terbongkar, semua ini kamu penyebabnya. Ahh sudahlah begini saja!"
Dia membuka tasnya, menjulurkan kitab dari tasnya. Kitab itu tertulis dalam bahasa Ibrani, namun jika dieja akan berbunyi bahasa arab.
Umi : "Sudahlah jangan basa-basi, baca ini!"
Menjulurkan kitab tersebut ke wajahku.
Tidak tergesa-gesa, aku simak dulu dalam batin.
"Fil Islamu Wal Mur...... (אל אשלםו וול מורתאדו)".
Aku : "Fil Islamu Walhamdulillahirabbil 'alamin." Ku ucapkan dengan keras sambil membayangkan lafadz yang sebenarnya.
Anya : "Haa! Bangsta kau!"
Anya pun murka, sedikitpun aku tak sangka dia menjulurkan pena yang di ujungnya mengeluarkan jarum yang lumayan besar, jarum yang berkilauan dan sangat-sangat tajam. Dia ingin mengakhiri hidupku.
Wusssss (Umi menodongkan pena berjarum tajam tadi ke arahku.)
"Hyah. Ku bunuh kau!" Teriak Umi.
Namun aku menahan serangannya dengan sekuat tenaga. Dorongannya begitu kuat. Namun akhirnya aku balikkan pena tersebut kearahnya dan berbalik menusuk leher umi, (senjata makan tuan). Anya pun gagal melakukan misinya. Dia mati bercucuran darah.
Selang beberapa detik, jasadnya menghilang secara misterius.
Ibuku yang tadi ketakutan di sampingku juga menghilang, pun secara misterius tak berbekas.
"Alhamdulillah Ya Allah. Untung saja tadi aku cerdas tidak membacanya. Kalau saja tadi aku baca kalimat itu, mungkin saja umi berhasil membaptis ku menjadi pengikutnya. Astaghfirullah."
Tiba-tiba tayangan-tayangan mengenai peribadatan umat Yahudi, baju-baju peribadatan tertampil berurutan seperti teater, lenyap begitu saja.
Dan aku pun terbangun dari tidurku.
"Untung rentetan kisah mengerikan itu hanya mimpi belaka."
----
Pesan yang dapat kita petik :
- Tenggang rasa
- Kejujuran, dan jangan munafik
- Toleransi
- Kebebasan beragama
- Pluralisme
- Humanisme
"Jadilah manusia yang sebenar-benarnya manusia. Sang pencipta mencipta manusia bukan untuk memupuk benci satu sama lain, melainkan sikap Tenggang Rasa lah yang harus kita bina sampai kapanpun. Mengedepankan rasa saling mengasihi dan menjadikan diri manusia yang bertoleransi tinggi. Sehingga tercipta Kemerdekaan Beragam di seluruh pemukiman dunia. Toleransi antar hati ke hati, sikap yang toleran dalam hal dan situasi apapun sehingga tercipta rasa saling mengamankan antar sesama demi bumi tercinta. Sehingga lahirlah keindahan, dan terciptanya keadaan manusia yang tentram dan bahagia. Lahirnya peradaban manusia yang plural dan keadaan manusia yang majemuk. Mengedepankan Humanisme di belahan bumi manapun."
-Jadilah Manusia Yang Rahmatan Lil 'Alamin-
-Bineka Tunggal Ika-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H