Anya masih terus menyambung langkahnya. Dia berjalan keluar menuju ke arah gerbang usang yang berdiri lapuk menjaga rumah tua kami, Anya bergegas untuk pamit pergi meninggalkan kampung ini.
Namun sebelum Anya pergi. Kulihat di tangannya sedikit terlihat menggantung dan menggelayut lambang kebanggaan pemeluk agama Yahudi yaitu Bintang Daud atau Magen Dawid.
Simbol itu menyala terang, memantulkan cahaya matahari sore yang cukup untuk menyilaukan penglihatan mataku.
"Astaghfirullah. Itu kannnn....."
Dalam hatiku tak habis pikir, kaget. Mataku terbelalak melihat benda yang dibawa oleh Anya di tangannya.
Rasaku yang penasaran menimbulkan tanda tanya besar, aku pun memberanikan diri untuk menghilangkan tanda tanya besar itu, aku menghentikan langkah Anya dengan memanggil namanya (dengan sedikit keragu-raguan).
"Hey Anya. Apa itu yang kau bawa!?."
"Annn. Kita kan sudah berteman hidup cukup lama, sini duduk bersamaku. Jujur saja, jangan kau rahasiakan sesuatu hal yang besar dari ku. Santai saja, aku tak akan beberkan rahasiamu ke siapapun, orang-orang kampung tidak akan ada yang tahu identitas aslimu, rahasia besarmu ini cukup kita berdua yang tahu, akan ku tutup rapat rahasia ini. Aku janji. Kamu tahu kan, aku gak pernah menyembunyikan hal sekecil apapun dengan mu, apalagi membohongi, sama sekali tidak pernah kan, Ann."
Kita berdua pun duduk bersama dan Anya bersedia menceritakan rahasia besarnya kepada ku.
Saat itu sedang sore sekitar ashar tepat. Suasana hangat nan semilir khas waktu sore hari.
Anya : "Iya Al. Aku mau jujur denganmu sebelum aku pergi dari meninggalkan kampung ini. Yaa, Tentang lambang ini. Tapi kau harus benar-benar janji untuk merahasiakan ini loo." (Bisik Anya dekat telingaku dengan jarak yang sangat dekat, khawatir rahasia besarnya di ketahui orang sekampung)
Aku : "iyaa Aannn, aku janji kok. Sumpah, seratus persen."
Umi : "bener loh ya."
Aku : "sumpah Ann."
Umi : "Iya Al, jujur tentang lambang bintang itu. Sebenarnya aku ini penganut Yahudi."
Aku : "Haaaaaaaaaah! Tuh kan bener dugaan ku. Kamu penganut Ya........Yahudi!" Teriakku yang sedikit terbata-bata.
Tak sampai aku melanjutkan pembicaraanku dengan Anya temanku, Ibu keluar melalui pintu rumah tua tepat ketika aku bicara pas pada kata "Yahudiii!?" Tentu si ibu kaget bukan kepalang. "Apaaaaaa!? Jadi kau ini Yahudi!" Sahut ibu dengan suara keras seperti Guntur, mengisyaratkan besar kemarahannya atas ketidakjujuran Anya selama ini. Beliau amat sangat kaget dan tidak menyangka, bertahun-tahun kok bisa ada seorang penganut Yahudi di ribuan mayoritas Islam di kampung ini. Beliau kira, ini sama saja kami bergaul dengan orang munafik (orang yang tidak jujur dan tidak mengakui agamanya sendiri; amat tak pantas diajak bergaul dan berkawanan).
"Tuhkaaannnn! Apa Kubilang Al. Seharusnya tidak usah kubiarkan saja rahasia ini kau ketahui. Sekarang semua hancuur." Sahut umi dengan menatapku marah, kecewa, dan sedih. Tak menyangka rahasia besarnya akan terbongkar oleh orang lain selain aku.
"Aku juga kan tidak tahu kalau ini akan terjadi An." Timpalku yang juga tidak percaya jika ibu akan keluar pintu dengan tiba-tiba.