Baca juga : Pengalaman Belajar Filsafat dan Logika Selama 1 Semester Secara Daring di Masa Covid-19
Secara umum, maksud dari frasa 'belajar setengah-setengah' yang sering dilontarkan orang-orang, bisa dipahami antara lain sebagai 'belajar secara dangkal', 'belajar hanya permukaannya saja', atau 'baru membaca beberapa buku saja'.
Tapi persoalannya, apakah 'belajar setengah-setengah' itu sungguh-sungguh hal yang salah? Salahkah kita jika hanya mempelajari sesuatu sekelumit saja? Salahkah kita bila belajar filsafat hanya baca karya Plato dan Aritoteles, atau Descartes dan Derrida saja? Salahkah kita jika belajar sepakbola hanya tahu cara membobol gawang saja? Salahkah daku jika mempelajarimu hanya dari kerlingan matamu saja? Eh~.
Maksud saya begini, memangnya apa jaminan kalau kita belajar sesuatu secara full (yang dilawankan dengan 'setengah-setengah' tadi), kita akan menjadi orang yang paling pintar dan tahu lagi bijaksana?Â
Belajar filsafat, misalnya, apakah bisa dipastikan bahwa kita bakal menjadi filsuf sungguhan bila sudah khatam kaffah mempelajari seluruh pemikiran filsafat mulai dari Thales sampai yang kontemporer macam Jean Baudrillard dkk? Apakah ada garansi bahwa seseorang tidak akan terjebak pada kebenaran relatif dan tetap akan taat beragama bila belajar filsafatnya tidak setengah-setengah?
Ini bukan cuma soal belajar filsafat. Belajar jurnalistik, contoh lainnya. Apa iya, orang yang belajar seluk beluk peliputan, cara menulis berita hingga menulis features, lalu belajar teknik fotografi secara habis-habisan, dijamin bakal lebih jago dan sukses menjadi wartawan ketimbang orang yang cuma belajar jurnalistik hanya kulitnya saja?Â
Baca juga : Belajar Filsafat Menjadikan Sebuah Pengalaman
Sama juga halnya dengan belajar agama. Apa bisa dipastikan bahwa orang yang ilmu agamanya setinggi langit ke tujuh bakal menjadi hamba Allah yang lebih baik dibanding orang yang tahunya cuma cara berwudhu dan salat dan bersedekah?Â
Tesis ini berlaku, terutama jika definisi belajar hanya sebatas pada tataran membaca teks dan mengamalkannya. Tentu saja ini tidak berlaku jika definisi belajar diperluas ke ranah praktik dan perolehan pengalaman.
Saya tentu tidak menafikan bahwa orang yang belajarnya sudah dalam dan jauh, tentu rata-rata (kalau bukan semuanya) lebih pintar dan tahu dibanding yang hanya belajar sekelumit, dan karena itu pemikiran-pemikirannya lebih pantas dijadikan rujukan. Orang yang belajarnya sudah sampai S3, misalnya, tentu lebih berhak, eh lebih pantas, donk, untuk jadi dosen dibanding mereka yang cuma S1, apalagi mereka yang cuma belajar dari membaca segelintir buku saja.
Akan tetapi, sinisme terhadap orang-orang yang 'belajar setengah-setengah' ini terkadang kelewat kejam. Mereka yang sinis itu nggak pernah berpikir apa, misalnya, barangkali orang yang mereka sinisi itu tak punya banyak waktu luang untuk belajar, atau mereka tak mampu untuk membeli buku lebih banyak. Alhasil, sebagai akibatnya, alih-alih mendorong mereka untuk terus belajar, sikap kita yang demikian justru dapat membunuh semangat mereka.