Habis manis sepah dibuang.
Peribahasa itu kini benar-benar saya rasakan. Jika dulu saya adalah tebu gempal yang berisi air gula, sekarang saya adalah sepah yang dianggap sampah. Manis tebu dihisap, sepahnya dibuang. Sekarang, saya benar-benar percaya bahwa peribahasa itu bisa terjadi pada, atau dirasakan oleh, siapa saja.
Dulu, saya adalah seorang wartawan di sebuah suratkabar ternama di Medan. Tepatnya, terakhir tiga bulan yang lalu, saya masih seorang wartawan. Saya memutuskan mengundurkan diri (resign) karena saya merasa tak pantas menjadi wartawan -- sebagai wartawan yang menjunjung tinggi idealisme, saya sudah "tidak perawan" karena saya pernah menerima pemberian dari narasumber dan itu membuat hati saya tersiksa sampai sekarang, dan itu pula yang membuat saya memutuskan berhenti; suatu dilema yang ingin saya ceritakan di lain kesempatan.
Soal tebu dan sepah, bagaimana bisa? Mari saya ceritakan. Menjadi wartawan, apalagi di media massa yang disegani, membuat saya (saya sengaja menggunakan nomina "saya" untuk menghindari generalisasi) menjelma seperti gula: semut-semut akan datang, memohon-mohon dan menjilati.
Semut-semut itu bisa siapa saja, dari kalangan apa saja. Intinya, mereka semua adalah narasumber, mulai dari rakyat jelata yang ingin memekikkan penderitaan hidupnya, guru-guru honorer yang meminta kejelasan gajinya, para humas lembaga/instansi yang senantiasa takut dimarahi atasannya apabila kegiatan atasannya tak terpublikasi, hingga para pejabat yang senyumnya serupa seringai yang selalu ingin mejeng dan tampak gagah di media.
Di antara jenis semut yang saya coba klasifikasikan itu, dua yang disebutkan terakhir adalah yang paling getol mendekati. Mereka adalah pihak yang sangat mendoyani tebu. Mereka senantiasa bersikap manis demi mencapai tujuannya.
Tetapi mereka jugalah yang paling jauh mencampakkan sepah, yang paling cepat meninggalkan sampah.
Dulu, mereka yang saya sebutkan terakhir ini, tiada hari tanpa menghubungi saya. Pagi, siang, malam. Ada saja di antara mereka yang menelepon, mengajak bertemu, menawari rupa-rupa kebaikan, mulai dari makan siang, ngopi bareng, uang minyak (istilah untuk uang transportasi), hingga uang jajan, dsb. Ada yang melakukannya dengan vulgar, ada yang setengah vulgar, dan ada pula yang sangat halus dan sopan.
Yang dimaksud vulgar di sini adalah mereka yang langsung memberikan amplop berisi uang dengan jaminan apa yang ingin mereka siarkan akan ditayangkan. Ada yang memberikan imbalan secara cuma-cuma jika kita memberitakan sebuah berita yang oleh mereka dianggap baik. Dan ada pula yang membangun kedekatan berupa pertemanan yang seakan-akan begitu akrab dan dengan begitu kapanpun mereka hendak tampil atau berbicara di media, secara otomatis si wartawan akan dengan mudah memenuhinya.
Saya, meskipun saya akui perawan saya jebol, tentu tidak termasuk wartawan yang lacur. Dulu, saya selalu berupaya menepis tawaran-tawaran narasumber-narasumber yang saya ibaratkan seperti semut itu. Sekeras mungkin saya menolak dengan santun setiap tawaran pemberian dari mereka. Di samping memang itu adalah peraturan yang ditekankan oleh media tempat saya bertugas, menolak pemberian adalah prinsip yang saya junjung mati-matian sedari awal saya memutuskan menjadi wartawan. Saya tahu, menjadi wartawan (wartawan yang benar-benar wartawan), setidaknya di Indonesia, tak akan pernah bisa menjadi kaya; dan memang menjadi wartawan bukanlah untuk menjadi kaya, dan rasanya, tiada lagi kebanggaan yang bisa dibanggakan selain idealisme -- bagi saya, idealisme adalah satu-satunya harta yang paling berharga yang tak ternilai dari seorang wartawan yang melarat.
Tetapi karena itulah peribahasa habis manis sepah dibuang itu saya rasakan, bahkan begitu teramat terasa dan menusuk-nusuk dada saya. Perlahan tapi pasti, mereka yang dulu rajin menghubungi saya (walaupun sering tak ada keperluan apapun) kini lenyap.