Saya akan menggunakan kata PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) untuk mewakili banyaknya nama Masa Orientasi Mahasiswa di tulisan-tulisan berikutnya.Â
PBAK telah menjadi momen yang momerable bagi mahasiswa baru. Acara tahunan ini diadakan oleh setiap universitas untuk mengenalkan berbagai aspek kampus kepada mereka. Tiap kampus memiliki pendekatan unik dalam menyelenggarakan PBAK, menghadirkan acara yang menarik dan tak terlupakan. Nama-nama PBAK pun beragam, seperti OKK (Orientasi Kegiatan Kampus) di UI, PPSMB (Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru) di UGM dan OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa) di ITB.
Lika-liku perjalanan PBAK memiliki nuansa yang unik. Dulu, panitia bebas bisa melakukan seenaknya kepada mahasiswa baru, seperti marah-marah, main pukul dan bentak-bentak. Katanya sih, biar menguatkan mental mahasiswa baru. Tak jarang, terkadang momen PBAK menjadi cerita tragis hingga menyebabkan korban jiwa.Â
Saat ini, PBAK telah bertransformasi menjadi acara yang penuh kreativitas, keunikan, dan tentu saja momerable. Seperti halnya UGM yang selalu menghadirkan selebrasi formasi yang mencuri perhatian. Tidak ketinggalan Universitas Negeri Semarang (UNNES), yang berani menampilkan selebrasi formasi unik yang dilakukan secara daring pada waktu pandemi Covid. Artinya kreativitas tetap menjadi poin penting.
Grudak-GrudukÂ
Pagi ini (28/08/23), saya lagi menikmati bacaan di perpustakaan salah satu universitas yang ada di Tangerang Selatan, sebut saja UIM (nama samaran). Gemuruh suara yel-yel PBAK membuat saya penasaran ingin melihat dari jendela karena terlihat seru. Namun, seiring berjalannya waktu, suara itu mulai merasa mengganggu, terutama saat yel-yel yang dilontarkan terkesan provokatif seperti orasi yang terkesan membela kepentingan organisasi tertentu.
Emang boleh seprovokatif itu ? Memang sih, mahasiswa tidak akan mengerti apa maksud terselubung di balik yel-yel tersebut. Tapi mbok ya, yang kreatif gitu biar terkesan seru dan bisa dikenang di waktu mendatang.
Saya melihat implementasi PBAK di UIM berbeda dengan esensi PBAK itu sendiri, grudak-gruduk (awuran), menakutkan dan provokatif, sehingga momen PBAK menjadi ajang yang tidak menarik lagi, keruh dan kotor. Apalagi di tahun 2022, demi eksistensi terjadi tawuran antara organisasi. Ini benar-benar meredupkan makna acara PBAK dan memunculkan kesan kampungan. "Ini momen PBAK bung, bukan nonton orkes!". Juga, ada desas-desus mengenai puluhan juta rupiah yang diambil dari konsumsi peserta PBAK demi kepentingan pribadi yang memanfaatkan jabatanya di organisasi. Mahasiswa membayar acara PBAK, eh, malah budget untuk konsumsi dipotong. Yang seharusnya mendapat nasi kotak malah menjadi nasi bungkus. Mana lauknya telur setengah doang lagi. Memalukan !!
"Dengar-dengar, sih kegiatan PBAK memang menjadi main list untuk kepentingan organisasi pergerakan supaya terlihat exist yang nantinya bisa berdampak pada tambahnya masa dan berujung bisa memegang kekuasaan politik di Kampus".Â
Kalau itu benar, memang tidak ada tempat lagi selain di PBAK?Â
Sependapat dengan Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah yang menekankan pentingnya bermain cantik dalam berpolitik. Ia mengibaratkan seperti permainan sepak bola, di mana teknik, keterampilan pemain, suportif, kerjasama tim, dan integritas sangat penting untuk meraih kemenangan.Â
Menurut saya, memainkan existensi organisasi bisa dihadirkan dengan cara yang lebih keren dan bermanfaat ketimbang tampil bersorak-sorak di momen PBAK. Tidak grudak-gruduk, seperti tidak ada cara yang lain aja wkwk . Mungkin dengan adu prestasi, diskusi dan program-program kerja menarik lainya. "Mutiara akan tetap menjadi mutiara, dia akan dicari banyak orang karena keindahannya".
Jika dibandingkan dengan PBAK di luar negeri, perbedaannya jauh. Meskipun esensi dan rencana kegiatan serupa, akan tetapi implementasinya berbeda. Kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang monoton dan kurang efektif, yang pada akhirnya berdampak pada kesan mahasiswa baru.
Lantas, siapa yang memulai atas tradisi seperti ini? Menurut saya, ini seperti perdebatan telur atau ayam siapa yang lahir duluan. Tidak ada satu elemen yang memulai duluan karena panitia dan organisasi saling bermutualisasi.
Sebaiknya, seluruh komponen haruslah berperan dalam menciptakan momen yang lebih berarti dan positif dalam pengenalan mahasiswa baru tanpa ada embel-embel kepentingan organisasi tertentu. Sulit, tapi memang itulah kenyataannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H