Ketika membaca berita manapun yang memiliki sangkut paut dengan BPJS Kesehatan, hampir pasti bahwa kita hanya 1-2 klik saja ke berita yang menyatakan bahwa BPJS defisit. Sungguh disayangkan, bahwa badan yang mengatur dan meregulasikan jaminan kesehatan nasional harus menghadapi situasi yang kurang menyenangkan ini. BPJS Kesehatan nyatanya memang mengalami defisit selama tiga tahun terakhir. Ya, tiga tahun terakhir dapat dikatakan sejak awal berdirinya pada 1 Januari 2014 atas tindak lanjut Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. Tidak hanya itu, defisit yang dialami juga meningkat selama tiga tahun tersebut. Berikut merupakan grafik untuk memvisualisasikannya.
Untuk mengatasi defisit ini, Pemerintah menganggarkan suntikan dana dari cadangan dana APBN setiap tahunnya. Kenaikan defisit yang terjadi ini juga bukan karena tidak ada alasan. Banyak faktor yang menyebabkan BPJS Kesehatan mengalami defisit bahkan dengan kenaikan yang signifikan setiap tahunnya. Faktor-faktornya banyak berada di sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sendiri.
Pertama, sistem JKN ‘memaksa’ BPJS Kesehatan untuk defisit. Jaminan Kesehatan Nasional menganut prinsip gotong royong. Berbeda dengan prinsip asuransi komersial, pada JKN tidak digunakan waktu tunggu jaminan.Peserta BPJS dapat langsung mengklaim BPJS tepat setelah peserta itu membayar iuran yang diperlukan. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya prinsip ‘pre-existing condition’ yang memasukkan kondisi peserta (sehat, sakit, atausakit parah) ke dalam pertimbangan berhak atau tidaknya mendapat jaminan kesehatan. Karena tidak adanya screening untuk pengklaim, semua peserta BPJS berhak langsung mendapat pelayanan kesehatan setelah mengajukan klaim tanpa adanya pemeriksaan risiko terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan melambungnya klaim BPJS yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Kedua, pelayanan kesehatan di indonesia terfokus pada aspek kuratif. Dari berbagai penyakit yang menjangkit masyarakat Indonesia, lima penyakit yang paling banyak memakan anggaran BPJS ialah penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, kanker, stroke, dan thalasemia.Penyakit-penyakit ini bukan dapat dicegah sepenuhnya, namun bisa dikurangi risiko terkenanya dengan pola hidup yang sehat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pola hidup kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu sehat. Budaya merokok, asupan gizi tidak seimbang, kurangnya olahraga, dan lain-lain menjadi faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena penyakit.
Tenaga kesehatan, menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, harus mengupayakan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan promotif berarti kegiatan pelayanan berfokus kepada mempromosikan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan preventif berarti pelayanan berfokus kepada pencegahan terkena suatu penyakit. Kedua aspek pelayanan kesehatan ini berfokus pada saat masyarakat belum terjangkit suatu penyakit, dan aspek ini yang belum dioptimalkan oleh pemerintah. Seperti yang sudah beratus kali didengar sebelumnya: Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pemerintah (dalam hal ini kementerian kesehatan) sudah seharusnya tidak memandang sebelah mata aspek pelayanan kesehatan kuratif dan promotif. Hal ini karena aspek inilah yang (secara tidak langsung) paling berpengaruh kepada kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan seharusnya difokuskan ke permukiman dan lingkungan hidup, bukan rumah sakit.
Dengan mengedepankan aspek promotif dan kuratif, tidak hanya kesehatan masyarakat bisa lebih terkontrol secara jangka panjang, anggaran kesehatan akan jauh mengecil. Daripada menunggu masyarakat sakit dan mengobatinya yang membutuhkan biaya mahal, lebih baik meminimalisasi kemungkinan masyarakat terjangkit suatu penyakit. Memberi edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup sehat dan mengerahkan tenaga kesehatan untuk mengawasi kesehatan setiap elemen masyarakat pada permukiman merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dapat dilakukan.
Ketiga, sistem rujukan masih belum berjalan dengan efektif. Dalam data yang dimuat BPJS, masih banyak jumlah kunjungan peserta BPJS yang berada di fasilitas kesehatan tingkat 2 (rumah sakit tipe B, C, dan D) dan tingkat 3 (rumah sakit tipe A). Hal ini dianggap tidak efektif karena mayoritas klaim dari peserta BPJS bisa ditindaklanjuti pada fase pelayanan primer. Hal ini juga menyebabkan penggelembungan pengeluaran pengeluaran BPJS.
Salah satu solusi yang dilaksanakan pemerintah terkaitmasalah ini adalah dengan dimulainya program dokter layanan primer yangmencakup pendidikan setara spesialis yang khusus menangani layanan keseatanprimer (pelayanan kesehatan saat pasien bertemu pertama kali dengan tenagakesehatan). Namun, solusi ini menimbulkan masalah baru terkait pro kontramengenai program ini di kalangan mahasiswa kedokteran maupun dokter.
Keempat, adanya ketimpangan signifikan antara pengeluarandan pendapatan. Hal ini sebenarnya sangat jelas terlihat meningat BPJSKesehatan sendiri mengalami defisit. Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahipada alasan ini terletak pada pengendalian pengeluaran agar bisa mencegah atauminimalnya mengurangi defisit. Upaya pengendalian pengeluaran padapenyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dapat dilakukan denganmengantisipasi pengaruh inflasi pada kenaikan harga obat maupun alat kesehatan.Dalam melakukan upaya ini perlu sejalan dengan kinerja pemerintah dalammembangun ekonomi dan mengeluarkan kebijakan yang terkait.
Lalu solusinya bagaimana?
Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan masalahdefisit ini. Solusi yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan berbagitanggung jawab BPJS antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan membagi tanggungjawab dalam menganggarkan BPJS, beban anggaran tidak akan terfokus ke pusat. Akantetapi, solusi ini cenderung mengarah kepada ‘menanggulangi’ dibandingkan dengan‘mengatasi’.Â
Selain itu, dapat pula dilakukan kenaikan biaya operasionalBPJS untuk setiap kelas. Tentunya ini merupakan solusi yang paling tidakmemungkinkan karena tidak hanya menimbulkan penolakan dari masyarakat, kenaikanbiaya juga tidak akan cukup untuk menutupi defisit.