Pada era pemerintahan Jokowi-JK, eksistensi pangan tidak lagi dipahami sebatas bahan makanan untuk menjamin kebutuhan hidup yang menjadi hak asasi manusia. Akan tetapi, pangan memiliki fungsi strategis dalam mengurai persoalan yang kompleks, yang memiliki perspektif pembangunan dan ekonomi politik, sehingga pangan dapat membangun dan menjamin pertahanan nasional. Ini tercermin dari agenda ketujuh Nawacita 2015-2019, Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Sektor-sektor Strategis Ekonomi Domestik, yang menitikberatkan pada upaya mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Mensejahterakan Petani. Kedaulatan pangan dan menurunkan kemiskinan rakyat yang notabenenya sebagian besar petani adalah kunci menjamin dan membangun pertahanan nasional yang tangguh.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jendral Suharto di depan sidang DPR tanggal 16 Agustus 1975, mendeklarasikan bahwa ketahanan nasional adalah tingkat keadaan dan keuletan dan ketangguhan bahwa Indonesia dalam menghimpun dan mengarahkan kesungguhan kemampuan nasional yang ada sehingga merupakan kekuatan nasional yang mampu dan sanggup menghadapi setiap ancaman dan tantangan terhadap keutuhanan maupun kepribadian bangsa dan mempertahankan kehidupan dan kelangsungan cita-citanya.
Kemudian, Friedrich Ratzel (1844-1904) dengan Teori Ruang mengungkapkan bahwa bangsa yang berbudaya tinggi akan membutuhkan sumber daya manusia yang tinggi dan akhirnya mendesak wilayah bangsa yang “primitif””. Intinya ia menyamakan negara sebagai makhluk hidup yang semakin sempurna dan membutuhkan ruang hidup yang makin meluas karena kebutuhan.
Dari definisi dan teori ini, secara implisit mengungkapkan bahwa pertahanan nasional akan terwujud apabila terciptanya stabilitas ekonomi dan integrasi sosial. Kedua masalah ini erat kaitannya dengan pangan karena menyangkut terjaminnya kebutuhan bahan makanan untuk hidup dan menumbuhkan ekonomi rakyat. Selain itu, kualitas dan kuantitas pangan sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang merupakan salah satu sumber daya nasional utama bagi sistim pertahanan negara. Pangan pun merupakan modal besar bagi suatu bangsa untuk menstabilkan proses pembangunannya karena berkaitan langsung dengan eksistensi kehidupan rakyat.
Di sisi lain, apabila produksi pangan lemah akan mengakibatkan suatu negara harus sering mengimpor produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia, sebagai negara yang pertumbuhan penduduknya terus meningkat, ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan akan terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang. Akibatnya, apabila keadaan ini tidak mampu dan secepatnya diredam, maka akan terjadi distorsi pertahanan nasional.
Namun, berbagai pemetaan persoalan dan ancaman pertahanan nasional di atas, dengan fokus program strategis pembangunan pertanian saat ini secara eksplisit dimaksudkan untuk membangun ketahanan pangan sekaligus pertahanan nasional. Melalui program Upaya Khusus (Upsus) swasembada pangan, pemerintah saat ini telah memberikan kontribusi besar dalam membangun pertahanan nasional. Sebab, apabila di era pemerintahan saat ini terjadi krisis atau kerawanan pangan, maka akan terjadi kelaparan, impor besar-besaran pangan pokok, Inflasi dan kemiskinan sehingga nasib petani makin terpuruk. Akan tetapi wajah pembangunan pertanian saat ini dengan kerja keras dan gerak tawaf yang langsung mengurai masalah di lapangan atau petani, berbagai capaian berhasil diraih mampu menangkal terjadinya masalah-masalah tersebut.
Pertama, di tahun 2015 banyak pihak yang meragukan pembangunan pertanian Indonesia akibat kondisi El-Nino, diprediksi Indonesia akan mengalami defisit produksi pangan, sehingga mau tidak mau akan melakukan impor secara besar-besaran. Kenyataanya, dengan program Upsus, terjadi peningkatan produksi tiga komoditas pangan secara bersamaan. Produksi padi 2015 naik 6,42 persen, jagung naik 3,18 persen dan kedelai naik 0,86 persen dibandingkan tahun 2014 (BPS 2016).
Sementara di tahun 2016, berdasarkan data Kementerian Pertanian, hasil panen di bulan Agustus 2016 mencapai 8 juta ton gabah kering giling (gkg), setara dengan beras sebesar 4,50 juta ton. Sementara kebutuhan konsumsi beras sekitar 2,65 juta ton. Indonesia pun baru-baru ini mengekspor beras organik sebanyak 40 ton ke Belgia, dengan harga Rp 60 hingga 70 ribu per kg. Adapun target ekspor beras organik hingga akhir tahun sebesar 100 ribu ton.
Kedua, Kinerja pembangunan sektor pertanian kembali menorehkan hasil dalam meningkatkan daya beli petani yang diukur dengan nilai tukar petani (NTP). Berdasarkan data yang dirilis BPS, Kamis (1/9), NTP nasional Agustus 2016 sebesar 101,56 atau naik 0,17 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya. Kenaikan ini dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik 0,30 persen, lebih besar dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) 0,13 persen.
Selain itu, data BPS pun menyebutkan pada Agustus 2016 terjadi inflasi perdesaan di Indonesia masih stabil (0,06 persen) disebabkan oleh naiknya seluruh indeks kelompok konsumsi rumah tangga kecuali indeks kelompok bahan makanan. Selanjutnya, Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional Agustus 2016 sebesar 110,08 atau naik 0,05 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya.
Ketiga, kebijakan dan program bawang merah telah berhasil menekan impor 2015 sebesar 77 persen dan tidak ada impor Januari hingga Juni 2016. Pemerintah pun mampu menekan impor jagung dari Januari hingga Juli 2016 turun 56 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Keempat, pemerintah Jokowi-JK telah membangun tol laut kapal ternak yang mengangkut ternak dari NTT dan NTB daerah sentra produksi sapi untuk memasok kebutuhan daging sapi di Jabodetabek dan Jawa Barat. Adanya kapal ternak ini telah memotong rantai pasok sapi yang selama ini terlalu panjang dan sepenuhnya dikuasai para middleman yang memiliki otoritas memainkan harga. Hasilnya, masyarakat dapat menikmati daging sapi lokal dengan harga terjangkau dan lonjakan harga daging teredamkan.
Kelima, penerapan mekanisasi pertanian terlihat fantastis jumlahnya. Bahkan menurut Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, realisasi bantuan alsintan dari tahun 2010 hingga 2015 masing-masing sebanyak 8.220 unit, 3.087 unit, 21.145 unit, 6.292 unit, 12.086 unit, dan 65.431 unit. Di tahun 2016, pemerintah akan mengalokasikan bantuan alsintan 100 ribu unit. Alhasil, berkembangnya mekanisasi ini, dapat menghebat biaya petani mencapai 30 persen, menurunkan kehilangan panen mencapai 20 persen, meningkatkan produksi mencapai 20 persen dan mempercepat masa tanam serta menambah luas tambah tanam.
Keenam, pemerintah telah membangun Toko Tani Indonesia (TTI). Sampai saat ini telah terbangun mencapai 700 unit lebih dari 1.000 TTI target 2016. Keberadaan TTI telah memotong rantai pasok yang selama ini mencapai 9 menjadi 3. Panjangnya rantai pasok inilah yang menyebabkan harga yang sampai ke konsumen tinggi sementara harga di tingkat petani selalu rendah jauh dari biaya yang dikeluarkan. Hasilnya, petani dapat mendistribusikan langsung hasil panen sehingga mendapatkan harga yang menguntungkan tanpa terjadi kenaikan biaya yang diterima konsumen.
Ketujuh, program pemerintah tidak lagi fokus pada pencapaian swasembada daging, akan tetapi pada swasembada protein yang diperoleh dengan mudah dari unggas dan kambing. Ini sejalan dengan amanat UU no 18 tahun 2012 tentang pangan bahwa penyelenggarakan pangan harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kecukupan protein atau gizi yang tinggi bagi warga negara merupakan syarat untuk menciptakan generasi yang tangguh dan ulet sebagai agen utama dalam membangun pertahanan nasional.
Kedelapan, ketahanan pangan Indonesia saat ini menguat. Ini berdasarkan pengakuan The Economist Intelligence Unit. Indeks ketahanan pangan global atau Global Food Security Index (GFSI) tahun 2016 Indonesia meningkat dari peringkat ke 74 menjadi ke 71 dari 113 negara. Hebatnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami perubahan terbesar pada indeks keseluruhan (2.7). Aspek Ketersediaan Indonesia tahun 2016 berada pada peringkat ke 66, jauh di atas peringkat Keseluruhannya (ke 71).
Keenam, tingkat kemiskinan terutama di perdesaan diprediksi menurun semakin nyata pada beberapa bulan ke depan. Ini terjadi karena seiring dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang didukung sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2016 sebesar 5,18 pesen atau meningkat dari 4,91 persen pada kuartal-I dan lebih tinggi dibandingkan kuartal-II 2015 sebesar 4,66 persen. Perbaikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2016 sangat dipengaruhi dari kontribusi sektor pertanian yang melampaui prediksi dan kontribusi sektor pertanian sangat besar yakni 14,14% dari total pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2016).
Rentetan capaian ini menunjukkan telah terbangunnya ketahanan pangan nasional. Karena pangan menyangkut hak asasi dan hakekat hidup, ketahanan pangan yang kokoh dapat membangun dan menjamin pertahanan nasional yang tangguh. Sebab, tidak ada satu pun pihak atau kelompok yang melakukan kegaduhan untuk protes atau menuntut akan ketersediaan pangan.
Oleh karena itu, agar pangan memiliki posisi kuat dan secara berkelanjutan menjamin pertahanan nasional, pemerintah perlu meningkatkan berbagai terobosan sehingga dampak pembangunan sektor pangan tidak hanya dirasakan di level makro namun harus menyentuh sampai ke level mikro. Pertahanan nasional sangat ditentukan kuatnya ketahanan pangan masyarakat di semua segmen baik di kota maupun pedesaan secara merata.
Langkah Afirmatif
Pertama, pemerintah harus serius menyelesaikan masalah klasik terkait kepemilikan pengelolaan lahan (agraria). Kepemilikan lahan petani saat ini hanya 0,3 ha. Seiring dengan jumlah penduduk yang kian meledak, masalah ini dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial yang dapat mengancam pertahanan nasional. Pada saat kampanye Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK menjanjikan kepemilikan lahan 9 ha per rumah tangga petani. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, namun pemerintah dapat merealisasikan kepemilikan lahan 1 ha per rumah tangga petani dengan mengoptimalkan lahan-lahan tidur yang dikelola BUMN dan TNI.
Kedua, pemerintah perlu membangun lumbung pangan masyarakat pedesaan terutama di wilayah perbatasan dan mengoptimalkan pengembangan pangan lokal. Kedua variabel ini merupakan kunci untuk membangun ketahanan pangan di pedesaan. Ketika terjadi bencana, petani telah memiliki cadangan pangan sendiri. Dengan demikian tidak akan muncul kegaduhan secara besar-besar dan terkoordinir di semua daerah. Bahkan asing tidak dapat masuk memberikan bantuan yang ujung-ujung dapat menghancurkan integrasi sosial. Ini tentunya menjamin pertahanan nasional.
Ketiga, mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional perlu dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan otoritas pangan sangat penting agar terhindar dari benturan kepentingan atau ego sektoral terkait. Lembaga pangan akan bertugas melaksanakan pengadaan, produksi, penyimpanan, hingga distribusi pangan nasional. Ketika melimpahnya produksi, petani mendapat jaminan pasar dan harga. Seharusnya ini merupakan tugas Bulog agar optimal menyerap gabah petani. Namun, Kinerja Bulog saat ini tidak berjalan sesuai harapan. Faktanya, sampai saat ini gabah petani yang diserap baru mencapai 2,24 juta ton setara beras dari targer 1 tahun sebesar 3,9 juta ton setara beras. Apabila serapan gabah petani tidak ditangani serius, maka akan memiskinkan petani sehingga berdampak pada terjadinya distabilitas pertahanan nasional.
Keempat, pemerintah perlu mengoptimalkan penanganan aspek hilir yakni pengolahan. Ini selalu menjadi masalah klasik ketika produksi pangan melimpah. Kebanyakan petani menjual murah produksi pangannya. Dengan masifnya pembangunan aspek hilir merata di seluruh daerah, pangan memiliki nilai tambah sehingga pendapatan petani meningkat dan memperkuat perekonomian masyarakat.
Kelima, pemerintah harus memperkuat eksistensi Karantina Pertanian. Ancaman pertahanan nasional saat ini dari luar tidak lagi secara nyata atau kontak fisik, akan tetapi berupa bioterorism yakni infiltrasi virus berbahaya melalui komoditas pangan. Karantina Pertanian berperan besar dalam menangkal potensi bioterorism tersebut di perbatasan negara yang terus diupayakan oleh pihak asing. Sebab, akan sia-sia capaian peningkatan produksi dan pengolahan pangan dalam negeri apabila virus berbahaya dari luar berhasil masuk. Pasalnya, virus tersebut tujuannya untuk melemahkan, membodohkan dan menghancurkan generasi, sehingga tidak lagi tangguh dan ulet serta berpikir cerdas. Apabila ini terjadi, pertahanan nasional tidak ada namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H