Keempat, pemerintah Jokowi-JK telah membangun tol laut kapal ternak yang mengangkut ternak dari NTT dan NTB daerah sentra produksi sapi untuk memasok kebutuhan daging sapi di Jabodetabek dan Jawa Barat. Adanya kapal ternak ini telah memotong rantai pasok sapi yang selama ini terlalu panjang dan sepenuhnya dikuasai para middleman yang memiliki otoritas memainkan harga. Hasilnya, masyarakat dapat menikmati daging sapi lokal dengan harga terjangkau dan lonjakan harga daging teredamkan.
Kelima, penerapan mekanisasi pertanian terlihat fantastis jumlahnya. Bahkan menurut Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, realisasi bantuan alsintan dari tahun 2010 hingga 2015 masing-masing sebanyak 8.220 unit, 3.087 unit, 21.145 unit, 6.292 unit, 12.086 unit, dan 65.431 unit. Di tahun 2016, pemerintah akan mengalokasikan bantuan alsintan 100 ribu unit. Alhasil, berkembangnya mekanisasi ini, dapat menghebat biaya petani mencapai 30 persen, menurunkan kehilangan panen mencapai 20 persen, meningkatkan produksi mencapai 20 persen dan mempercepat masa tanam serta menambah luas tambah tanam.
Keenam, pemerintah telah membangun Toko Tani Indonesia (TTI). Sampai saat ini telah terbangun mencapai 700 unit lebih dari 1.000 TTI target 2016. Keberadaan TTI telah memotong rantai pasok yang selama ini mencapai 9 menjadi 3. Panjangnya rantai pasok inilah yang menyebabkan harga yang sampai ke konsumen tinggi sementara harga di tingkat petani selalu rendah jauh dari biaya yang dikeluarkan. Hasilnya, petani dapat mendistribusikan langsung hasil panen sehingga mendapatkan harga yang menguntungkan tanpa terjadi kenaikan biaya yang diterima konsumen.
Ketujuh, program pemerintah tidak lagi fokus pada pencapaian swasembada daging, akan tetapi pada swasembada protein yang diperoleh dengan mudah dari unggas dan kambing. Ini sejalan dengan amanat UU no 18 tahun 2012 tentang pangan bahwa penyelenggarakan pangan harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kecukupan protein atau gizi yang tinggi bagi warga negara merupakan syarat untuk menciptakan generasi yang tangguh dan ulet sebagai agen utama dalam membangun pertahanan nasional.
Kedelapan, ketahanan pangan Indonesia saat ini menguat. Ini berdasarkan pengakuan The Economist Intelligence Unit. Indeks ketahanan pangan global atau Global Food Security Index (GFSI) tahun 2016 Indonesia meningkat dari peringkat ke 74 menjadi ke 71 dari 113 negara. Hebatnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami perubahan terbesar pada indeks keseluruhan (2.7). Aspek Ketersediaan Indonesia tahun 2016 berada pada peringkat ke 66, jauh di atas peringkat Keseluruhannya (ke 71).
Keenam, tingkat kemiskinan terutama di perdesaan diprediksi menurun semakin nyata pada beberapa bulan ke depan. Ini terjadi karena seiring dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang didukung sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2016 sebesar 5,18 pesen atau meningkat dari 4,91 persen pada kuartal-I dan lebih tinggi dibandingkan kuartal-II 2015 sebesar 4,66 persen. Perbaikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2016 sangat dipengaruhi dari kontribusi sektor pertanian yang melampaui prediksi dan kontribusi sektor pertanian sangat besar yakni 14,14% dari total pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2016).
Rentetan capaian ini menunjukkan telah terbangunnya ketahanan pangan nasional. Karena pangan menyangkut hak asasi dan hakekat hidup, ketahanan pangan yang kokoh dapat membangun dan menjamin pertahanan nasional yang tangguh. Sebab, tidak ada satu pun pihak atau kelompok yang melakukan kegaduhan untuk protes atau menuntut akan ketersediaan pangan.
Oleh karena itu, agar pangan memiliki posisi kuat dan secara berkelanjutan menjamin pertahanan nasional, pemerintah perlu meningkatkan berbagai terobosan sehingga dampak pembangunan sektor pangan tidak hanya dirasakan di level makro namun harus menyentuh sampai ke level mikro. Pertahanan nasional sangat ditentukan kuatnya ketahanan pangan masyarakat di semua segmen baik di kota maupun pedesaan secara merata.
Langkah Afirmatif
Pertama, pemerintah harus serius menyelesaikan masalah klasik terkait kepemilikan pengelolaan lahan (agraria). Kepemilikan lahan petani saat ini hanya 0,3 ha. Seiring dengan jumlah penduduk yang kian meledak, masalah ini dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial yang dapat mengancam pertahanan nasional. Pada saat kampanye Pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK menjanjikan kepemilikan lahan 9 ha per rumah tangga petani. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, namun pemerintah dapat merealisasikan kepemilikan lahan 1 ha per rumah tangga petani dengan mengoptimalkan lahan-lahan tidur yang dikelola BUMN dan TNI.
Kedua, pemerintah perlu membangun lumbung pangan masyarakat pedesaan terutama di wilayah perbatasan dan mengoptimalkan pengembangan pangan lokal. Kedua variabel ini merupakan kunci untuk membangun ketahanan pangan di pedesaan. Ketika terjadi bencana, petani telah memiliki cadangan pangan sendiri. Dengan demikian tidak akan muncul kegaduhan secara besar-besar dan terkoordinir di semua daerah. Bahkan asing tidak dapat masuk memberikan bantuan yang ujung-ujung dapat menghancurkan integrasi sosial. Ini tentunya menjamin pertahanan nasional.