Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money

Impor Bawang Merah Mencederai Petani

26 Mei 2016   20:09 Diperbarui: 30 Mei 2016   17:07 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rapat Koordinasi Terbatas yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 24 Mei 2016 memutuskan impor bawang merah sebanyak 2.500 ton. Menteri Perekonomian Bidang Perekonomian, Darmin Nasution beralasan, diputuskan impor tersebut karena harga bawang merah di pasaran saat ini Rp 41.000 per kg, harga bawang merah seharusnya Rp 25.000 per kg. Inilah yang mendasar diputuskan impor karena merupakan upaya mewujudkan instruksi Presiden RI Jokowi agar harga bawang merah di tingkat konsumen menjelang Ramadhan turun ke level Rp 25.000 per kg.

Namun, apabila menelusuri data ketersediaan dan kebutuhan bawang merah saat ini, kebijakan pemerintah memutuskan impor dianggap dangkal sehingga benar-benar mencederai atau melukai petani bahkan memiskinkan petani secara sistemik. Sebab, kebijakan impor tersebut menghianati fakta akan capaian produksi bawang merah yang saat ini melebihi kebutuhan konsumen yang merupakan hasil kerja keras dari berbagai program Kementerian Pertanian. Selain itu menghianati juga harga riil bawang merah di pasar.

Data Kementerian Pertanian (Kementan) 2016 menyebutkan, stok bawang merah pada bulan Mei sebanyak 125.200 ton sedangkan kebutuhan hanya 81.200 ton dan pada bulan Juni-Juli mencapai 241.600 ton sedangkan kebutuhannya hanya 175.600 ton. Dari data ini terlihat, diperoleh surplus bawang merah sampai bulan Juli 110.000 ton. Harus dicatat, besarnya surplus ini mampu mencukupi kebutuhan pada bulan berikutnya yang hanya 90.000 ton. Sementara itu, produksi bersih bawang merah di tahun 2016 diprediksikan mencapai 1.183.187 ton sedangkan kebutuhannya hanya 991.901 ton sehingga diperoleh suplus di tahun 2016 sebesar 191.286 ton. Kebutuhan ini sudah menghitung secara komprehensif yaitu terdiri dari konsumsi sebanyak 641.588 ton, horeka dan warung 139.200 ton, benih 129.133 ton, dan industri 82.000 ton. Sementara jumlah surplus sangat besar dibanding jumlah yang diputuskan untuk impor.

Merujuk pada kebutuhan bawang merah yang rata-rata 90.000 ton per bulan, secara matematis kebutuhan bawang merah per harinya 3.000 ton. Artinya bawang merah impor 2.500 ton hanya mencukupi kebutuhan satu hari bahkan tidak cukup. Dengan demikian, impor bawang merah sangatlah tidak masuk akal apabila alasannya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri selama menjelang bulan Ramadhan ternyata hanya mencukupi kebutuhan satu hari. Padahal, fakta di atas memperlihatkan stok bawang merah surplus. Namun harus diakui dampak kebijakan impor sangatlah merusak psikologis petani yang sedang semangat menanam bawang dan langsung menurunkan harga yang merugikan petani.

Sementara itu, membanjirnya produksi dan stok bawang merah di atas, tidaklah menggunakan kaca mata kuda yakni hanya mengacu pada data Kementan, namun juga mengacu pada data fakta di lapangan. Misalnya, data jumlah bawang merah yang masuk di Pasar Kramat Jati Jakarta Timur saat ini. Ketua Asosiasi Bawang Merah Pasar Kramat Jati, Hasan Kudri mengungkapkan ketersediaan bawang merah pada bulan Juni dan Juli aman tercukupi bahkan surplus. Ini dibuktikan dengan pasokan bawang merah yang masuk ke Jakarta saat ini sebanyak 280 ton hingga 300 ton per hari sedangkan kebutuhannya hanya 240 ton hingga 280 ton per hari. Apalagi nanti pada bulan Juni-Juli yang merupakan puncak panen raya, stok dan supply bawang merah pasti akan lebih banyak bahkan surplus.

Pada skala nasional, Ketua Dewan Bawang Merah Nasional, Amin Kartiawan Danova menjamin ketersediaan bawang merah di daerah pada bulan puasa dan Lebaran tercukupi. Produksi bawang merah melimpah di daerah sentra produksi yakni Bima, Brebes, Nganjuk, Probolinggo, Malang, Sumbawa, Enrekang dan Jawa Barat mencapai 85.000 ton hingga 110.000 ton.

Terkait dengan harga yang menjadi variabel diputuskan impor, harga bawang merah di Pasar Kramat jati saat ini sudah turun jika dibandingkan harga pada dua pekan lalu. Harga bawang merah di tingkat bandar Rp 14.000 hingga Rp 20.000 per kg sedangkan di tingkat eceran untuk bawang merah tipe kecil Rp 20.000 per kg dan bawang merah tipe besar Rp 25.000 per kg. Harga bawang merah pada dua pekan lalu mencapai Rp 40.000 hingga Rp 45.000 per kg. Namun, harga di bulan Juni dan Juli atau menjelang Ramadhan dan saat Lebaran diprediksi akan turun sampai Rp 13.000 hingga Rp 20.000 per kg.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah harga bawang merah di tingkat petani sangat terjangkau atau sesuai dengan keinginan pemerintah. Data Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) menyebutkan, harga bawang merah pada tingkat petani hanya mencapai Rp 16.000 hingga Rp 17.000 per kg. Harga bawang merah di pasar induk pun hanya mencapai Rp20.000 per kg.

Kenapa Harus Impor?

Dari fakta di atas, tentunya menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan publik yang kritis. Fenomena stok melimpah sementara harga di pasar melonjak jauh, patut dikatakan bahwa kebijakan impor bawang merah memiliki magnet yang kuat pada mengutamakan dan mengamankan kepentingan pelaku usaha yang menginginkan impor. Pemerintah lebih takut pada tidak tercapainya kepentingan segelintir pelaku usaha dibanding tidak sejahteranya petani dan tidak terjangkaunya konsumen membeli. Oleh karena itu, bisa jadi harga bawang merah di beberapa tempat sengaja dibuat mahal mencapai Rp 41.000 per kg oleh para pelaku usaha licik yang menginginkan impor. Mau tidak mau, pemerintah yang sudah berkoalisi mesra dengan pelaku usaha memiliki alasan logis untuk memutuskan impor.

Selain itu, kebijakan impor bawang merah memiliki indikasi Asal Bapak Senang (ABS). Sebab, Presiden Jokowi menginstruksikan agar harga bawang merah di tingkat petani minimal Rp 15.000 per kg dan di konsumen maksimal Rp 25.000 per kg. Padahal fakta di atas, harga riil di petani dan konsumen tanpa harus impor akan terbentuk sendiri seperti yang diinginkan presiden.

Namun, seandainya benar fakta di lapangan yakni harga bawang merah mencapai Rp 41.000 per kg sebagai variabel diputuskan impor sementara produksi melebihi kebutuhan, artinya terjadi kesalahan pada tata niaga bukan pada produksi. Carut marutnya tata niaga pangan khususnya bawang merah ini menandakkan buruknya kinerja atau tidak berjalannya fungsi Kementerian Perdagangan sebagai lembaga yang memiliki tugas membangun tata niaga untuk kelancaran pasokan dan stabilitas harga. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pun sebagai lembaga yang bertugas untuk memantau stabilisasi harga pangan tidak berjalan. Sementara Kementerian Pertanian yang memiliki tugas meningkatkan produksi pangan dan membina petani sudah sukses menjalankan tugasnya.

Kebijakan impor ini tentunya melemahkan eksistensi petani dan berbagai capaian serta kerja keras yang dilakukan Kementerian Pertanian yang sukses meningkatkan produksi dan menggaraihkan petani untuk bertani. Padahal harga riil bawang merah saat ini di lapangan sudah sesuai dengan target pemerintah yakni instruksi presiden terkait kebijakan pangan murah

Aksi Afirmatif

Untuk mengurai lonjakkan harga bawang merah dan carut marut tata niaga di tengah surplus produksi dan terjaminnya pasokan, pemerintah harus melakukan berbagai aksi afirmatif. Pertama, Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian harus membuat regulasi dan membentuk tim stabilisasi harga yang berada langsung di lapangan. Regulasi ini dapat berupa mengeluarkan kebijakan mengenai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) seperti pada komoditas jagung. Dengan demikian, harga bawang merah dalam waktu kapanpun tidak terjadi distorsi oleh permainan para pelaku usaha nakal. Kemudian, adanya tim stabilisasi harga dapat melakukan pengendalian dan pengawasan secara langsung dan cepat terhadap pendistribusian dan stabilisasi harga di tingkat petani sampai ke konsumen. Selain itu, pemerintah dapat mengatur langsung ritel, pengepul atau pelaku usaha untuk melakukan pendistribusian pangan sehingga harga tidak semata-semata diserahkan pada mekanisme pasar atau dikendalikan penuh oleh pasar.

Kedua, Kementerian Perdagangan harus turun tangan menata rantai pasok sehingga supply bawang merah dapat diatur untuk didistribusikan pada berbagai daerah, tidak semata di satu daerah yang dikendalikan dan dimainkan pelaku usaha. Sebab, apabila ini tidak dilakukan, para pelaku usaha akan membentuk kelembagaan informasi yang mengarah pada pembentukan kartel atau membentuk struktur pasar baru yang memainkan harga dan stok.

Ketiga, pemerintah harus segera membangun farm market dan Badan Layanan Umum (BLU) Pangan dengan Toko Tani Indonesia (TTI) sebagai operator. Tujuannya agar terbentuk struktur pasar baru sehingga stok bawang merah petani dapat terdistribusikan langsung ke pasar atau konsumen sehingga tanpa melewati banyak middle man yang terlibat pada rantai pasok. Dengan begitu, tidak terjadi pasar liar atau bawang merah tidak lagi diserahkan pada mekanisme pasar yang menentukan harga dan memainkan pasokan.

Di sisi lain, adanya TTI sebagai operator dapat melakukan transformasi sosial, ekonomi dan kelembagaan petani. Petani dapat melakukan hilirisasi dan penyeimbang harga dan pelaku usaha yang bersentuhan langsung dengan petani merasa ada kompetitor sehingga harga dapat bersaing karena pelaku usaha tidak bisa memainkan harga. Dengan demikian harga di tingkat petani sampai ke pasar dapat stabil.

Keempat, peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk melancarkan distribusi dan menstabilkan harga ketika stok bawang merah melimpah. Pemerintah daerah harus mendukungnya melalui pembinaan sumberdaya manusia petani, mempermudah perizinan atau membuat peraturan-peraturan dan membangun infrastruktur untuk memperlancar akses.

Oleh karena itu, sangat disayangkan pemerintah terlalu cepat memutuskan impor bawang merah. Apalagi bulan Juni-Juli yang tinggal beberapa hari lagi merupakan puncak panen bawang merah, harga bawang merah petani akan tambah merosot. Artinya, kebijakan impor sudah dipastikan merugikan petani dan memperpanjang masa hutang dan kemiskinan petani. Sebab, selama petani melakukan budidaya bawang merah, pastinya petani meminjam modal kepada sanak saudara dan mitra lembaga keuangan yang bunganya cukup besar dan terus berjalan apabila tidak dilunasi tepat waktu.

Seharusnya di saat sekarang menjelang masuknya bulan Ramadhan merupakan momentum bagi petani untuk mendapat harga yang tinggi agar memperoleh keuntungan yang lebih untuk menambah pundi-pundi tabungan dan kantong mereka dalam menghadapi banyaknya pengeluaran, terlebih saat Lebaran bahkan pasca Lebaran. Sebab petani pun berhak mendapat tunjangan hari raya dari pemerintah berupa harga yang menguntungkan.

Untuk itu, petani sebagai konstituen negara yang wajib dijamin kesejahteraannya perlu bergerak menuntut kesejahteraan pada lembaga pemerintah yang bertugas dalam menyediakan pasar dan menjaga stabilisasi harga yang menguntungkan. Dengan begitu, kebingungan petani terhadap kebijakan impor bawang merah dapat terjawab di tengah pasokan produksi yang melimpah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun