Masih terngiang di telinga kita, anak seorang pejabat tiba-tiba trending dan menjadi perbincangan hangat.
Miris! Ya kata itu yang paling tepat saat ini menggambarkan betapa vitalnya sebuah reputasi. Nenek moyang kita pun sudah lama menanamkan nilai-nilai moral dari idiom Jawa “anak polah bapak kepradah” sebuah penggambaran bahwa pertaruhan tingkah laku anak membawa getah bagi orang tuanya.
Alih-alih orang tua turut menanggung akibatnya, kasusnya tidak hanya terkait penganiayaan, tapi juga erat kaitannya dengan polah si anak yang suka pamer harta dan bergaya hidup hedon. Integritas orang tuanya dipertanyakan! Alhasil, risiko reputasi sebuah institusi besar kini juga menjadi taruhannya.
Tak berbeda dengan sebuah organisasi di tempat lain, sektor perbankan pun dapat terkena pengaruh buruk jika dibiarkan. Risiko reputasi bagi perbankan menjadi nyata, karena kepercayaan para pemangku kepentingan dapat jatuh.
Sadar akan hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan agar perbankan dapat memaknai dampak buruknya.
Menurut Peraturan OJK No.18/POJK.03/2016, bank diwajibkan menjaga adanya risiko reputasi yang dapat muncul sewaktu-waktu. Seperti citra media dan/atau adanya rumor negatif tentang bank termasuk strategi komunikasi bank yang kurang efektif.
Ini biasa terjadi karena adanya pengaduan dari nasabah. Selain itu, bisa juga karena ada peristiwa yang memicu tersebarnya pemberitaan negatif tentang perbankan. Kejadian fraud di internal bank pun dapat mengungkit masalah negatif di masyarakat.
Bisa jadi, sebuah reputasi bagaikan bom waktu bagi perbankan. Kenapa begitu? Reputasi ini bersinggungan dengan nama baik. Apabila reputasinya rusak, jelas menghancurkan nama baik. Kalo sudah begini, peningkatan kebutuhan praktek good governance yang baik menjadi sebuah keniscayaan. Termasuk upaya dalam fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan hingga pengendalian risiko sebuah bank wajib diterapkan.
Ketika telah muncul risiko reputasi, pastikan untuk segera mengatasinya. Jangan sampai hal tersebut semakin merusak nama baik dan citra perbankan.
Supaya dampaknya tak semakin merusak reputasi perbankan, perlu menjaga integritas semua jajaran secara konsisten. Dalam hal ini, perlu ada tindakan disiplin yang harus ditaati oleh semua pegawai. Dengan demikian, masyarakat bisa kembali menumbuhkan kepercayaan karena tak ada tindakan korupsi ataupun pelanggaran integritas.
Business Case Perbankan
Terkait risiko reputasi perbankan ini, alangkah baiknya apabila menerapkan business case. Kita dapat menggunakan business case itu sendiri dengan menghadirkan berbagai fakta untuk dipertimbangkan saat mengambil keputusan. Tak bisa dipungkiri bahwa bank dituntut untuk bisa mengambil keputusan secara tepat.
Pengambilan keputusan yang tidak logis dan visioner, akan merusak reputasi bank. Pasalnya, arah bisnis jadi tidak tepat sasaran. Melalui business case, memungkinkan bank untuk membuat analisis mendalam tentang kondisi tersebut.
Pada dasarnya, business case perbankan ini bisa menawarkan beragam keuntungan. Selain memudahkan dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan reputasi, juga mampu menciptakan strategi risiko manajemen mumpuni. Bahkan juga mampu mendongkrak tingkat return on investment.
Keuntungan lain yang bisa kita dapatkan ialah dapat menemukan aktivitas terbaik. Keperluan kolaborasi dengan berbagai perusahaan atau lembaga lainnya juga bisa berjalan secara optimal di bidang bisnis.
Di saat menghadapi risiko reputasi perbankan yang mulai terkikis, business case menjadi salah satu solusinya.
Kiat Membangun Reputasi Perbankan
Harus dipahami bahwa risiko reputasi berkaitan dengan peluang sekaligus tantangan dengan dimensi etis maupun sosial (emosional) lebih tinggi daripada jenis risiko lainnya. Apabila tak dikelola secara efektif, dapat memiliki implikasi luas pada operasional usaha. Kelalaian ini menyebabkan nasabah lambat laun beralih ke bank lain yang memiliki reputasi lebih baik.
Menyadari hal tersebut, sudah seharusnya melakukan berbagai kiat untuk mengharumkan nama baik di industri perbankan. Ini tak hanya bisa meningkatkan reputasi yang menurun, melainkan juga mempertahankan reputasi yang sudah baik. Adapun salah satu kiat tersebut ialah memanfaatkan media sosial.
Perbankan bisa menyebarkan citra reputasi positif pada publik. Khususnya kepada nasabah yang menjalin kerjasama dengan bank. Dengan memanfaatkan media sosial, menyebarkan reputasi positif tersebut bisa berlangsung secara cepat, efektif, dan praktis.
Selain itu, apabila ada persoalan atau kesalahan yang terjadi, segera perbaiki dengan berbicara kepada publik. Hal ini bisa menenangkan keadaan yang tak kondusif. Ingat juga untuk menyampaikan upaya bank dalam memperbaiki keadaan tersebut agar nasabah memiliki kepercayaan kembali.
Perhatian khusus harus diberikan dalam mengendalikan risiko reputasi perbankan. Jangan sampai reputasi memburuk karena efeknya bisa sangat berbahaya terhadap kelangsungan bisnis bank.
Jika terdapat kasus perbankan yang dapat meningkatkan eksposur risiko reputasi, bak “anak polah bapak kepradah” maka segera antisipasi agar kejadian serupa seperti contoh diatas tidak terjadi. Untuk itu, kendalikan agar ketahanan perbankan tetap terjaga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H