Gelombang kebebasan berekspresi di Indonesia selalu mengalami posisi penuh dengan ketidakpastian. Seringkali kita temukan ekspresi seseorang ditafsirkan sebagai sebuah perbuatan melawan hukum seperti pencemaran nama baik, atau menyerang kehormatan seseorang.Â
Fenomena ini memang bukan barang baru, namun sampai saat ini pemerintah belum terlihat untuk serius evaluasi menyeluruh dan struktural agar dapat menekan korban-korban kriminalisasi sebab aktivitas ekspresinya.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, aktivitas ekspresi di ruang digital dinilai lebih masif apabila dibandingkan dengan ekspresi publik yang sifatnya offline. UU ITE - yang tentu saja problematik dibentuk sebab populasi warga online yang terus meningkat, serta sebagai sebuah upaya untuk menangkal berbagai tindakan kejahatan di ruang digital.Â
Namun, kehadiran UU ITE nampaknya tidak mampu memenuhi tiga tujuan mendasar pembentukan perundang-undangan, yaitu untuk memperoleh kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Â
Akhirnya, tuntutan revisi UU ITE dari berbagai kalangan masyarakat sipil terus berdengung karena tidak sedikit pasal dalam UU tersebut bersifat multitafsir dan berimbas pada penyempitan ruang ekspresi, dan tentu saja mengancam eksistensi demokrasi.
Belum selesai dengan diskursus dan polemik keberadaan UU ITE yang terus menerus mengalami pro kontra di tengah-tengah masyarakat yang berdampak pada pengikisan ruang bebas berekspresi, kini Kemenkominfo mencoba belajar menjadi penguasa yang represif.Â
Tidak beda jauh dengan UU ITE, dengan keluarnya peraturan baru Permenkominfo tentang penyelenggara sistem elektronik lingkup privat (PSE) hanya akan memperkeruh situasi jaminan kebebasan berekspresi.Â
Ironisnya, Ditjen APTIKA melalui siaran persnya terlihat mencoba mensimplifikasi isi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Permenkominfo ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai praktik ancaman di dunia digital. Rupanya, lenturnya isi pasal-pasal  di dalamnya adalah ancaman bagi keberlangsungan hak asasi manusia.
Lagu lama kaset kusut
Secara garis besar, permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 Tentang PSE ini mengatur ihwal pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, hingga permohonan pemutusan akses atas informasi atau dokumen yang dilarang.Â
Jika mencermati isi pasal per pasal Permenkominfo tersebut, beberapa esensi pasal terasa sangat begitu elastis. Salah satu contohnya , Pasal 9 Ayat (4) memuat kalimat multitafsir "......Informasi elektronik dan/atau dokumen yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: b. Meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum......".Â
Frasa meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dalam peraturan tersebut tidak memiliki penjelasan lebih lanjut secara eksplisit mengenai tolak ukur ataupun standar minimum konten digital yang dapat berimbas pada gangguan ketertiban umum maupun meresahkan masyarakat. Di sisi lain, muatan pasal elastis tersebut sudah barang tentu memberikan dampak pada subjektivitas penafsiran pasal.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa proses penyusunan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sangat jelas dinilai tidak memperhatikan ketentuan internasional Siracusa Principle on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, khususnya dalam hal prinsip penafsiran umum yang berhubungan dengan justifikasi pembatasan.Â
Beberapa substansi pembahasannya pada intinya menyebutkan bahwa "...... 3. Semua ketentuan pembatasan hak harus ditafsirkan secara ketat dan mendukung hak tersebut, 4. Semua pembatasan  harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak tertentu yang terkait......".
Lebih lanjut, apabila mencermati beberapa keganjilan dalam pasal-pasal yang ada sebagaimana telah dibahas di atas, telah tergambar jelas bahwa Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam hal jaminan atas kebebasan berekspresi di ruang digital.Â
Sebab, ketidakjelasan ambang batas dari konten yang dianggap menggangu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat memiliki konsekuensi hukum berupa hukuman denda, hingga pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik.
Pejabat eksekutif seperti kementerian atau lembaga, bahkan hingga aparat penegak hukum memiliki akses istimewa untuk memohon pemutusan konten yang dianggap dilarang. Lebih parahnya lagi, wewenang pelaksana pemutusan akses ini adalah kuasa penuh Menteri Komunikasi dan Informatika, dan tentu saja pemutusan tersebut didasari dengan pertimbangan subjektif sang Menteri.
Begitu ketatnya penegakan moderasi konten serta pasal-pasal elastis yang diterbitkan oleh kominfo hanya akan mempertebal catatan hitam buruknya pemenuhan kebebasan berekspresi di Indonesia.Â
Dengan kata lain, lahirnya norma tersebut dapat dilihat sebagai upaya pengkerdilan terhadap aksesibilitas atas informasi, dokumen, atau bahkan pengetahuan yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum yang beredar di dunia digital.Â
Lebih lanjut, apabila Permenkominfo ini berjalan dengan mulus, keberadaan penyebaran informasi digital secara bebas akan sirna, sebab akhirnya pemerintah menyandang kewenangan berlebih, memiliki kontrol secara penuh atas berbagai konten dalam medium aplikasi digital yang telah terdaftar.
Peraturan eksesif
Pengungkungan hak tidak bisa sembarangan dilegalisasi dalam pelbagai skema peraturan, semisal peraturan sekelas pejabat eksekutif. Sekalipun sifatnya mendesak, pembatasan hak bukanlah kewenangan ruang lingkup institusi eksekutif.Â
Bukan tanpa alasan, apabila pejabat eksekutif dimungkinkan untuk melahirkan peraturan-peraturan yang menjangkau pembatasan hak-hak warga negara,Â
maka Undang-Undang tidak lagi relevan digunakan sebagai medium pembatasan hak sebagaimana bunyi Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang menyebutkan bahwa "Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa".Â
Sejalan dengan hal itu, menurut Herlambang, berlandaskan pada teori perundang-undangan, pembatasan hak idealnya dicatut dalam Undang-Undang karena dalam prosesnya akan melibatkan dua instansi, yaitu eksekutif dan legislatif.Â
Sebab, pelibatan pejabat legislatif dalam proses pembentukan Undang-Undang adalah sebagai representatif formal ketatanegaraan dalam sistem politik Indonesia yang mewakili warga negara.
Artinya, adalah anomali apabila pembatasan hak diatur dalam skema peraturan level kementerian, memiliki kewenangan yang bersifat eksekutorial, dan berdampak pada campur tangan penguasa eksekutif terhadap pembatasan hak-hak warga sipil.Â
Patut diduga wacana moderasi konten yang terlalu ketat melalui Permenkominfo ini merupakan suatu langkah busuk penguasa menyempitkan posisi kebebasan berekspresi di dunia digital.
 Aksi protes masyarakat sipil menuntut dicabutnya Permenkominfo ini baik di ruang digital maupun secara offline sudah tidak mampu lagi terbendung. Menteri Komunikasi dan Informatika harus berhenti bersikap resisten dari kritik yang mengemuka.Â
Penting untuk disorot agar pembentukan Permenkominfo a quo patut diselenggarakan dengan membuka pintu partisipasi publik seluas-luasnya, sebab peraturan ini tidak hanya sebatas menyangkut pendaftaran berbagai platform digital, namun juga berkaitan dengan nasib konten warga sipil selaku individu/komunal pengguna aplikasi digital.
Terakhir, Menteri Komunikasi dan Informatika wajib segera menghapus segala bentuk legalisasi peraturan yang memiliki kecenderungan melecehkan hak asasi manusia, dan perlu diingat kembali bahwa tugas paling esensial selaku pejabat eksekutif adalah menerapkan dan melaksanakan Undang-Undang, bukan mengekang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H