Mohon tunggu...
Abimanyu Septiadji Sungsang
Abimanyu Septiadji Sungsang Mohon Tunggu... Lainnya - Staf Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

suka air putih es

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mencium Aroma Pasal Karet di Bawah Kuasa Tangan Besi Menteri Komunikasi dan Informatika

27 Juli 2022   20:01 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:22 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bukan tanpa alasan, apabila pejabat eksekutif dimungkinkan untuk melahirkan peraturan-peraturan yang menjangkau pembatasan hak-hak warga negara, 

maka Undang-Undang tidak lagi relevan digunakan sebagai medium pembatasan hak sebagaimana bunyi Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang menyebutkan bahwa "Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa". 

Sejalan dengan hal itu, menurut Herlambang, berlandaskan pada teori perundang-undangan, pembatasan hak idealnya dicatut dalam Undang-Undang karena dalam prosesnya akan melibatkan dua instansi, yaitu eksekutif dan legislatif. 

Sebab, pelibatan pejabat legislatif dalam proses pembentukan Undang-Undang adalah sebagai representatif formal ketatanegaraan dalam sistem politik Indonesia yang mewakili warga negara.

Artinya, adalah anomali apabila pembatasan hak diatur dalam skema peraturan level kementerian, memiliki kewenangan yang bersifat eksekutorial, dan berdampak pada campur tangan penguasa eksekutif terhadap pembatasan hak-hak warga sipil. 

Patut diduga wacana moderasi konten yang terlalu ketat melalui Permenkominfo ini merupakan suatu langkah busuk penguasa menyempitkan posisi kebebasan berekspresi di dunia digital.

 Aksi protes masyarakat sipil menuntut dicabutnya Permenkominfo ini baik di ruang digital maupun secara offline sudah tidak mampu lagi terbendung. Menteri Komunikasi dan Informatika harus berhenti bersikap resisten dari kritik yang mengemuka. 

Penting untuk disorot agar pembentukan Permenkominfo a quo patut diselenggarakan dengan membuka pintu partisipasi publik seluas-luasnya, sebab peraturan ini tidak hanya sebatas menyangkut pendaftaran berbagai platform digital, namun juga berkaitan dengan nasib konten warga sipil selaku individu/komunal pengguna aplikasi digital.

Terakhir, Menteri Komunikasi dan Informatika wajib segera menghapus segala bentuk legalisasi peraturan yang memiliki kecenderungan melecehkan hak asasi manusia, dan perlu diingat kembali bahwa tugas paling esensial selaku pejabat eksekutif adalah menerapkan dan melaksanakan Undang-Undang, bukan mengekang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun