Mohon tunggu...
Abimanyu Septiadji Sungsang
Abimanyu Septiadji Sungsang Mohon Tunggu... Lainnya - Staf Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

suka air putih es

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mencium Aroma Pasal Karet di Bawah Kuasa Tangan Besi Menteri Komunikasi dan Informatika

27 Juli 2022   20:01 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:22 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Frasa meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dalam peraturan tersebut tidak memiliki penjelasan lebih lanjut secara eksplisit mengenai tolak ukur ataupun standar minimum konten digital yang dapat berimbas pada gangguan ketertiban umum maupun meresahkan masyarakat. Di sisi lain, muatan pasal elastis tersebut sudah barang tentu memberikan dampak pada subjektivitas penafsiran pasal.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa proses penyusunan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sangat jelas dinilai tidak memperhatikan ketentuan internasional Siracusa Principle on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, khususnya dalam hal prinsip penafsiran umum yang berhubungan dengan justifikasi pembatasan. 

Beberapa substansi pembahasannya pada intinya menyebutkan bahwa "...... 3. Semua ketentuan pembatasan hak harus ditafsirkan secara ketat dan mendukung hak tersebut, 4. Semua pembatasan  harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak tertentu yang terkait......".

Lebih lanjut, apabila mencermati beberapa keganjilan dalam pasal-pasal yang ada sebagaimana telah dibahas di atas, telah tergambar jelas bahwa Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam hal jaminan atas kebebasan berekspresi di ruang digital. 

Sebab, ketidakjelasan ambang batas dari konten yang dianggap menggangu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat memiliki konsekuensi hukum berupa hukuman denda, hingga pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik.

Pejabat eksekutif seperti kementerian atau lembaga, bahkan hingga aparat penegak hukum memiliki akses istimewa untuk memohon pemutusan konten yang dianggap dilarang. Lebih parahnya lagi, wewenang pelaksana pemutusan akses ini adalah kuasa penuh Menteri Komunikasi dan Informatika, dan tentu saja pemutusan tersebut didasari dengan pertimbangan subjektif sang Menteri.

Begitu ketatnya penegakan moderasi konten serta pasal-pasal elastis yang diterbitkan oleh kominfo hanya akan mempertebal catatan hitam buruknya pemenuhan kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Dengan kata lain, lahirnya norma tersebut dapat dilihat sebagai upaya pengkerdilan terhadap aksesibilitas atas informasi, dokumen, atau bahkan pengetahuan yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum yang beredar di dunia digital. 

Lebih lanjut, apabila Permenkominfo ini berjalan dengan mulus, keberadaan penyebaran informasi digital secara bebas akan sirna, sebab akhirnya pemerintah menyandang kewenangan berlebih, memiliki kontrol secara penuh atas berbagai konten dalam medium aplikasi digital yang telah terdaftar.

Peraturan eksesif

Pengungkungan hak tidak bisa sembarangan dilegalisasi dalam pelbagai skema peraturan, semisal peraturan sekelas pejabat eksekutif. Sekalipun sifatnya mendesak, pembatasan hak bukanlah kewenangan ruang lingkup institusi eksekutif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun