Frasa meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum dalam peraturan tersebut tidak memiliki penjelasan lebih lanjut secara eksplisit mengenai tolak ukur ataupun standar minimum konten digital yang dapat berimbas pada gangguan ketertiban umum maupun meresahkan masyarakat. Di sisi lain, muatan pasal elastis tersebut sudah barang tentu memberikan dampak pada subjektivitas penafsiran pasal.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa proses penyusunan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sangat jelas dinilai tidak memperhatikan ketentuan internasional Siracusa Principle on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, khususnya dalam hal prinsip penafsiran umum yang berhubungan dengan justifikasi pembatasan.Â
Beberapa substansi pembahasannya pada intinya menyebutkan bahwa "...... 3. Semua ketentuan pembatasan hak harus ditafsirkan secara ketat dan mendukung hak tersebut, 4. Semua pembatasan  harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak tertentu yang terkait......".
Lebih lanjut, apabila mencermati beberapa keganjilan dalam pasal-pasal yang ada sebagaimana telah dibahas di atas, telah tergambar jelas bahwa Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam hal jaminan atas kebebasan berekspresi di ruang digital.Â
Sebab, ketidakjelasan ambang batas dari konten yang dianggap menggangu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat memiliki konsekuensi hukum berupa hukuman denda, hingga pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik.
Pejabat eksekutif seperti kementerian atau lembaga, bahkan hingga aparat penegak hukum memiliki akses istimewa untuk memohon pemutusan konten yang dianggap dilarang. Lebih parahnya lagi, wewenang pelaksana pemutusan akses ini adalah kuasa penuh Menteri Komunikasi dan Informatika, dan tentu saja pemutusan tersebut didasari dengan pertimbangan subjektif sang Menteri.
Begitu ketatnya penegakan moderasi konten serta pasal-pasal elastis yang diterbitkan oleh kominfo hanya akan mempertebal catatan hitam buruknya pemenuhan kebebasan berekspresi di Indonesia.Â
Dengan kata lain, lahirnya norma tersebut dapat dilihat sebagai upaya pengkerdilan terhadap aksesibilitas atas informasi, dokumen, atau bahkan pengetahuan yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum yang beredar di dunia digital.Â
Lebih lanjut, apabila Permenkominfo ini berjalan dengan mulus, keberadaan penyebaran informasi digital secara bebas akan sirna, sebab akhirnya pemerintah menyandang kewenangan berlebih, memiliki kontrol secara penuh atas berbagai konten dalam medium aplikasi digital yang telah terdaftar.
Peraturan eksesif
Pengungkungan hak tidak bisa sembarangan dilegalisasi dalam pelbagai skema peraturan, semisal peraturan sekelas pejabat eksekutif. Sekalipun sifatnya mendesak, pembatasan hak bukanlah kewenangan ruang lingkup institusi eksekutif.Â