Draf RUU Penyiaran buatan DPR melahirkan sejumlah pasal kontroversi. Terdapat beberapa pasal di dalamnya yang menjadi sorotan dan dianggap merugikan bagi masyarakat pers dan publik Indonesia. DPR sebaiknya tidak buru-buru dalam mengesahkan RUU Penyiaran.
Pers dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi selain lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam UU No 40 Tahun 1999 pada pasal 3 ayat 1 djelaskan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Hak pers adalah kebebasan pers untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi tanpa campur tangan atau tekanan dari pihak mana pun, terutama pemerintah. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang sehat, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap. Kebebasan pers juga mendorong inovasi dan pemikiran kritis hingga menjadi kunci masyarakat yang terbuka, demokratis, dan maju. Pentingnya kebebasan pers sebagai akses informasi, pengawasan kekuasaan, stimulus demokrasi, perlindungan HAM, Memfasilitasi dialog publik menjadikannya sebagai pilar penting dalam demokrasi modern.
Pers berperan sebagai watchdog yang mengawasi pemerintah dan lembaga lainnya, memastikan mereka bertanggung jawab atas tindakannya, Pers mendorong partisipasi Masyarakat dalam kehidupan sosial dan politik, Pers dapat mengangkat isu-isu ketidakadilan dan membantu melindungi hak-hak manusia, serta membantu menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Revisi UU Penyiaran gagasan DPR menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan, terutama para jurnalis dan aktivis masyarakat sipil. Poin utama yang menjadi sorotan adalah potensi pembatasan terhadap kebebasan pers.
Beberapa pasal dalam draf revisi dinilai terlalu kabur dan dapat ditafsirkan secara luas oleh pemerintah, sehingga memberikan ruang yang cukup besar untuk melakukan tindakan sensor atau pembungkaman terhadap suara-suara kritis.Â
Terdapat sejumlah pasal kontroversial pada Revisi UU Penyiaran, yaitu :
- Pasal 8A huruf Q, Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
- Pasal 42 Ayat 2, Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan junalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 50B Ayat 2 huruf C yang memuat Standar Isi Siaran (SIS) dan mencantuman larangan soal penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
- Pasal 51E, Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya Keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Revisi UU Penyiaran dikhawatirkan akan semakin memperkuat dominasi segelintir kelompok atau perusahaan besar dala industry penyiaran. Regulasi yang abu-abu dan cenderung protektif terhadap kepentingan bisnis berpotensi menghambat perkembangan dan tumbuhnya media-media kecil dan independent, juga mengurangi keberagaman konten yang tesedia bagi publik.
Dewan Pers, Masyarakat Pers, dan Publik tidak dlibatkan langsung dalam penyusunan RUU Penyiaran. Hal ini dinilai melanggar Putusan MK No. 91/PUU/XVIII/2020 yang mengamanatkan agar penyusunan regulasi harus ada keterlibatan masyarakat. Sudah seharusnya DPR melibatkan partisipasi kelompok maupun organisasi yang concern terhadap kebebasan pers.
Sejumlah pasal yang terdapat dalam darf revisi UU Penyiaran berpotensi membatasi kebebasan pers. Beberapa pasalnya dinilai terlalu mengikat dan membatasi ruang gerak jurnalis. Revisi ini bertujuan untuk mengatur penyiaran yang lebih baik, namun perlu dipertimbangkan agar regulasi tidak menghambat kebebasan pers. Rvisi UU Penyiaran perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi digital yang begitu pesat.Â
Revisi pada UU Penyiaran memang diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan melindungi kepentingan publik. Namun jika dalam penyusunannya tidak melibatkan beberapa pihak terkait, maka hasilnya melahirkan sejumlah pasal kontroversi yang dianggap merugikan masyarakat pers dan publik Indonesia. Masyarakat khawatir revisi akan membatasi kebebasan pers dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.