Ia mengenang ayahnya yang kasar dan suka berjudi. Ibunya mau tak mau harus banting tulang meski kesehatannya menurun. Lebih dari itu, ayahnya tak hanya memberi luka fisik. Ayahnya pernah berselingkuh yang tentu sangat menyakiti hati ibunya. Sungguh malang nasib mereka.
Merasa muak dengan suara ayahnya. Eri beranjak dari bangku, membayar ke ibu pemilik warung, dan pergi meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan ia merenung. Mengingat semua kenangan buruk itu membuat luka hatinya makin dalam. Kini, hatinya mulai dipenuhi amarah. Ia telah menderita dan kini ia ingin kedua orang ini merasakannya pula.
“Mungkin dengan tubuhku yang sekarang ini...,” dan tiba-tiba Eri terpikirkan sesuatu.
***
“Halo, siapa ini?” tanya Dico setelah mengangkat telepon.
“Ini aku Eri. Temui aku di Jalan Mawar! Masuk ke gedung tua besar dan aku akan menunggumu di dalam. Aku ingin memberi sesuatu untukmu. Datanglah sendirian!” kata Eri sembari menatap Dico dari kejauhan dalam bilik telepon.
Telepon terputus. Dico heran Eri tiba-tiba meneleponnya. Kemarin, ia tak melihatnya di sekolah.
“Apa yang ingin diberikannya? Mungkin aku juga akan memberi hadiah pukulan padanya nanti,” gumam Dico.
Dico bergegas menuju ke sana. Namun, tak ada siapa-siapa di sana. Ia berbalik dan mendapati Eri dengan tubuh barunya berdiri mematung. Selangkah demi selangkah ia mendekat menuju Dico. Mereka hanya berjarak 2 meter kini.
“Eri tetaplah Eri yang cupu dan penakut,” Dico mencibir. “Sampai-sampai menyuruh orang untuk menghadapiku. Aku tidak takut Eri! Keluar kau dasar pengecut! Tunjukkan dirimu! Aku juga punya hadiah untukmu!,” seru Dico dengan lantang.
“Ia ada di sini, di depanmu,” kata Eri pelan.