Jam 4 subuh saya terbangun dari lelahnya malam. Memandangi sekitaran ruang sekretariat bersama, rekan-rekan saya masih terjebak pada romantisme sebuah drama Boliwood hingga membuat mereka lupa akan menutup mata. Tidak tahu kenapa hal demikian bisa menyerang pola pikir mereka untuk melakukan hal-hal yang merugikan.
"Ah sudahlah, mendingan saya mandi dulu. Mereka juga sedang menikmati sebuah skenario kok".
Menyirami badan saya lakukan untuk meningkatkan penetrasi kesegaran tubuh. Saya kira bila hendak keluar kamar mandi, rekan-rekan saya sudah menutup mata namun masih tetap dipaksakan agar selalu terbuka demi memahami sebuah naskah film.
"Ya Allah, kalian belum tidur ya gaes? tanyaku sambil mengeringkan rambut basahku dengan sebuah handuk kecil".
Mereka sama sekali tak menjawab pertanyaanku. Tidak apa-apa sih, mungkin mereka sedang serius menikmati jalan cerita film tersebut.
Aku mulai bergegas ke dalam kamar dan segera menggantikan pakaian. Packing kebutuhan yang akan saya bawa ke Jogja telah kupersiapkan dari semalam. Lebih baik memastikan lagi untuk tidak terjadi apa-apa.
"Babang, kita mau berangkat sekarang apa gimana? gumamku kepada kawan yang sangat setia membantuku bolak balik Ciputat-Kebayoran Baru". Babang yang sedang duduk ditangga sambil menatap layar hapenya hanya bisa menjawab" iya. Terserah kaka saja".
Saya telah janjian denganya dari kemarin sore guna mengantarkanku ke Stasiun Gambir esok pagi.
"Ok kalau begitu habis subuh  kita langsung cabut ya? pintaku".
Ok kaka," turut Babang.
"Babang, ada rokokmu? kalau ada bagi sebatang dong".
Nih, ada kaka," jawabnya. Babang kemudian memberikan sebungkus rokok putih, aku menerimanya dan membuka dalam bungkusan rokok itu. Terlihat ada 6 batang yang tersisa didalamnya.
Untuk aktivitas seperti  Babang dan rekan-rekan saya yang mereka lakukan, begadang tidak akan seruh bila tidak punya rokok. Ya namanya juga perokok, hehe.
Beberapa tarikan menguras sebatang roko itu pada ruangan bascamp. Ah lebih baik diluar aja deh, sambil menunggu Babang panasin motornya. Tarikan demi tarikan, sebatang rokok yang masih putih berserih kini berubah menjadi ampas debu kehidupan.
Keluar dari bilik pintu dengan motornya dan kami langsung bergerak menuju St Gambir. Rencananya sih begitu, tapi lumayan jauh kayanya bagi saya dan juga Babang yang memang belum tidur dari semalam.
Saya memikirkan akan hal-hal yang tidak diinginkan kepadanya. "Yasudah Babang, antari saya aja ke Kantor Setara Institute".
"Ok kak, terserah kaka saja," ucap Babang.
Langit diudara masih senyap gulita, kendaraan dijalan raya Juanda Ciputat juga terlihat masih tak sebegitu sibuknya. Tidak seperti ketika matahari mulai memancarkan sinarnya hingga malam lagi yang kerap membuatku kesal melewati situ. Kenapa, sebab praktik kemacetan sangat berbudaya dan tidak ada solusi alternatif dari pemerintah kota Tangeran Selatan untuk memperbaikinya.
Kami tiba di Setara Institute pukul 06 pagi, ternyata Mas Heru selaku penjaga kantor masih ada bersama temannya. Bukan saja mas Heru, Bani selaku tim Informasi dan Teknologi Setara, juga sudah datang lebih awal. Ada juga bang Bahtiar dengan istri anaknya.
"Babang, tanyaku. Kamu mau mampir dulu sambil ngopi atau ngeteh atau langsung balik aja.
"Balik aja kak, biar tidak kena macet pagi," jawab Babang dengan senyuman khasnya seperti lagi sedang membakar gele.
"Ok kalau begitu, hati-hati ya Babang? Trims!
Saya, Bani dan Keluarga bang Bahtiar kemudian bersiap-siap untuk berangkat menuju St Gambir. Kami tengah menunggu mobil grab yang dipesan bang Bahtiar. Di tiket kereta jadwal keberangkatan kami pada pukul 08.00 tepat. Ini adalah informasi yang disampaikan bang Oki, staf Setara juga yang bertugas mengurus tiket kereta kami.
Mobil grab Avanza telah tiba di depan gerbang. Kami keluar dari kantor untuk menaiki barang-barang bawaan kami. Bang Bahtiarlah yang paling banyak barang bawaanya. Maklum, dia membawa istri dan anaknya. Jadi wajar sajalah. Sementara saya dan Bani hanya membawa sebuah tas pikul belakan. Mode tas Eiger dan ARey adalah gendre berbeda antara saya dan Bani.
"Bri, sapa Bani. Uda digembok semua pintu kantor kan? Sudah men. aman pokoknya".
Mobil grab yang kami naiki ternyata tidak cukup tempat duduknya sehingga kami harus berdesakan masuk ke dalam. Bang Bahtiar memilih duduk di depan. Sementara saya, Bani, dan anak istri bang Bahtiar berada di tempat duduk tengah yang harus berdesak-desakan. Anaknya bang Bahtiar akhirnya dipangku sang ibu agar terlihat leluasa sedikit ruang gerak kami. Dibangku belakan telah full dengan tas kami.
Mobil telah jalan menyusuri sepinya jalan Ibukota. Macet ibu kota belum terlalu nampak, kami tiba di St Gambir dengan seksama dan tentunya senang sekali.
Mba Dewi dan Mba Diah juga telah tiba lebih awal di St Gambir. Mereka berdiri di depan pintu masuk ruang tunggu dengan membawa tiga kantong plastik yang berisikan kue dan nasi uduk untuk sarapan pagi Tim Tour Jogja Setara Institute.
Bertemu mereka, cipika-cipiki sambil senyum tidak jelas mengekspresikan kebahagian kami. "Hallo Mba Dewi dan Mba Diah, gimana sehatkan? tanyaku. Hehehe.
"Ohiya dong, sehat selalu bray,"jawab mereka.
Tak tinggal diam, Mba Diah lalu membagikan kami menu sarapan diantaranya kue bronis dan gorengan ples akua botol. Mba Diah adalah bendahara Setara Institute, sedangkan Mba Dewi adalah asistennya. Mereka berdua sangat kompeten dibidangnya dan paling seruh diajak untuk bercanda. Tidak kaku dan tidak sensitif kepada saya dan Bani yang masih muda buanget ketimbang mereka yang jauh sekali umur mereka dengan kami.
Beberapa menit kemudian semua Tim Tour Setara Jogja mulai berdatangan satu persatu. Mereka semua membawa keluarga tercinta. Yaialah, mumpung ada kesempatan liburankan? Kami semua kemudian berkumpul di ruang tunggu sambil menunggu waktunya chek-in tiket. Dengan terus melihat waktu di layar hape, semakin dekat jadwal keberangkatan kami. Kira-kira 30 menit sebelum jadwal berangkatan, kami lalu dibagi tiket oleh bang Oki, semuanya telah terima tiketnya dan langsung menuju pintu chek-in.
Saya sebelum agenda Tour ini, tidak memiliki E-KTP hanya berupa kopian saja karena E-KTP asli saya hilang beberapa bulan kemarin sehingga saya harus mengurus surat kehilangan di Polsek Ciputat dengan dibantu sama kawan Polsek. Akhirnya dengan
surat kehilangan yang ditandangi pihak polsek itu membuat saya leluasa untuk bergerak ke Jogja. Jika tidak, saya pasti di cap orang ilegal. Hmm, tentu saya tidak mau hal demikian terjadi.
Masuk pintu chek-in yang di jaga ketat sama security, kami berbaris untuk proses chek-in. Saya kemudian mengeluarkan surat kehilangan dari dalam tas Eiger. Memegannya diselipin copian KTP dan tiket, saya lalu merapat menuju petugas chek-in. Sebelum petugas tersebut angkat suara, saya lalu menyodorkan dokumen yang telah saya pegan serayak berkata" ini surat kehilangan KTP mba ada copiannya KTPnya jua." Â Petugas yang juga perempuan itu hanya bisa berdiam dan melihat saja kemudian tiket saya diambil dan diregist melalui mesin. Lampu hijau dimesin chek-in telah menyala, bertanda telah berhasil.
Menaiki tangga lif sebagian tim Tour Setara melewatinya. Saya dan Bani cukup melewati tangga biasa agar tidak terasa serbah wah. Sambil olahraga otot betis juga kan.
Di dekat peron kereta, bang Oki menyuruh kami agar ke bagian belakan. Disana terletak gerbon kami yakni gerbon 8. Kami berdiri, menunggu dan bercerita. Ada yang harus bergegas ke Toilet untuk membuang musibah. Kereta pun tiba, kami menaikinya dan mencari tempat duduk berdasarkan nomor tiket.
Ok. Sampai disini dulu ya guys Part pertamanya. Ceritanya masih panjang juga kok terkait persetubuhan kami dengan kota Gudek Jogjakarta. Jangan bosan-bosan menunggu! Trims
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H