Jurnalis sekaligus pendiri Wacthdoc, Dandhy Dwi Laksono kini ditangkap polisi di kediaman rumahnya, Jl. Sangata 2 Blok i-2 No.16 Jatiwaringin Asri, Pondok Gede, Bekasi pada Kamis, 26/9/ 2019. Hal ini memperlihatkan negara semakin antikritik.
Berdasarkan informasi kronologis yang saya terima dari sebuah grup WA, pada pukul 22.30 WIB Dandhy Dwi Laksono baru sampai di rumah. Ketika pukul 22.45 WIB ada tamu menggedor-gedor pagar rumah lalu dibukakan oleh Dandhy.
Tamu yang dipimpin Bapak Fathur mengatakan membawa surat penangkapan karena alasan postingan di sosial media twitter mengenai Papua.
Pada saat pukul 23.05 WIB, tim yang terdiri dari 4 orang itu membawa Dandhy ke kantor Polda Metro Jaya dengan kendaran D 216 CC mobil fortuner. Petugas yang datang sebanyak 4 orang dan disaksikan oleh 2 satpam RT.
Dilkutip dari tirto.id, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dan Ketua YLBHI Afisnawati membenarkan informasi tersebut. Mereka berdua tengah mendatangi Dandhy di Polda Metro Jaya.
"Aku sedang ke Polda. Tidak hanya LBH Jakarta tapi juga Kontras dan Amnesty Sedang menuju Polda,"kata Afisnawati kepada reporter Tirto, kamis (26/9/2019).
Dalam surat perintah penangkapan yang diterima, Dandhy dilaporkan oleh sesorang bernama Asep Sanusi pada selasa, 24/9/2019. Dia dituding melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan berdasarkan suku agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sutradara film dokumenter "Sexy Killers" itu diduga akan dijerat pasal berlapis, di antaranya pasal 28 ayat (2) juncto, pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau pasal 14 dan pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Peristiwa ini menimbulkan reaksi di masyarakat sipil yang dengan sekejap memenuhi beragam media sosial menggunakan kampanye hashtag #BebaskanDandhy.
Kemunduran Demokrasi Semakin Sistemis
Tragedi penangkapan sewenang-wenang terhadap Dandhy Dwi Laksono merupakan potret buruk penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia, lebih khususnya di era kepemimpinan Jokowi.
Ini menandakan rezim Jokowi beserta aparatnya sangat anti terhadap kritik publik. Pola-pola orde baru masih diterapkan dalam alam demokrasi sehingga persimpangan jalan menuju demokrasi yang didambakan sangat disayangkan telah terksploitasi secara brutal.