Musim kemarau panjang akan menjarah Ibu kota. Begitulah isi berita utama di salah satu media koran mainstream yang aku baca pertengahan pekan kemarin. Pastinya kebutuhan warga atas air akan bermasalah bila tiba saatnya kemarau menjemput.
Hari berikutnya suasana ibu kota terbentur dengan tiga isu hangat. Semua stasiun TV dan media online, cetak, turut meramaikannya, antara lain; Penistaan agama oleh UAS, rasisme terhadap mahasiswa Papua, dan pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Lupakan, soal Papua aku bisa bersolidaritas lewat tulisan yang akan saya tulis nanti. Pokoknya bagimana agar permasalahan air ini bisa menjadi konsen banyak orang. Terutama di Jakarta yang akan ditimpa bencana kekeringan," ucapku pelan dari mulut bibir.
Beberapa menit kemudian, ucapan itu mengajakku ke tempat tidur. Meniduri kasur berlapis seprei bergambar Ac Milan. Tubuhku tergeletak sejenak sambil memeluk bantal panjang.
Dalam perjalanan tidur, diri ini diterpa mimpi akan tibanya tanah air tercinta menjadi bangsa yang ramah ekologis dan ekofeminis. Banyak warga memamfaatkan air hujan sebagai alternatif solution dari ancaman bahaya kekeringan datang.
Di sela-sela belayar dalam lautan mimpi, terdengar bunyi dari atap genteng rumah. Aku pun langsung terbangun dan menolehnya, ternyata dunia luar sudah dibasashi hujan yang lebat. Kaca jendelaku sudah terlihat buram.
Tak ada lamunan lagi, aku segera ke dapur menyiapkan satu drum kosong dan beberapa ember. "Semoga hujannya akan berjalan lama sehingga bisa terisi penuh untuk kebutuhan sehari-hari," pintaku.
Suara petir dan kilat sering menyalurkan ekspresinya hingga membuatku kaget sekali-kali. Setelah usai menampung persediaan air, malam yang semakin dingin menggigil membuatku ingin kembali meniduri seprey Ac Milan dan ingin bermimpi lagi.
***
Di kantor organisasi non pemerintah tempatku bekerja sebagai volunter pada penguatan isu HAM dan demokrasi di daerah Mampang Prapatan. Kepekaanku terhadap isu hak atas air tetap menjadi konsentrasi. Ya, ini juga bagian dari prioritas kebutuhan hak asasi.
Ketika dalam perjalanan pulang menuju rumah nenek di Kebayoran Baru. Aku saat itu menggunakan Comutter Line. Disimpang rel kereta sepangjang perjalanan pulang, berbaris warga di sekitar daerah Tanah Abang sedang mengantri air bersih dengan memegan cergen besar ditangan. Selintas aku melihatnya dibalik jendela KRL.
Di rumah nenek yang terbilang lumayan besar dengan arsitek bangunan kolonial, dan banyak meja antik yang tertata rapih. Rumah nenek cocok untuk berfose selfie dengan kamera. Seperti dimasa jaman penjajahan.
Walapun sudah sangat tua (80) nenek masih mengkonsumsi  air dari sumur belakan rumah. Ia jarang membeli galong atau minuman botol, sesekali kalau sempat menampung air hujan ia mamfaatkan untuk kebutuhan hidupnya.
Hidup dalam dua musim ini, terang nenek, kita harus pandai memanajemen kebutuhan dasar kita, seperti air, pangan, dan udara sehat. Semuanya sangat penting untuk menunjang akses-akses kebutuhan dasar yang lain seperti pendidikan, pekerjaan, dan berkebudayaan.
Bila Sedang Hujan, Jangan Sia-siakan
Kali ini Kota Jakarta sangat rendah turunnya air hujan, tentu kewaspadaan terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Tanah di sekitar pinggiran rumah nenek sudah terbelah. Banyak tanaman mulai mengering di rumah tetangga sebelahan nenek.
Sayangnya, tampungan air hujan dirumah nenek tersimpang cukup banyak. Di belakang dapurnya ada tampungan air yang terbuat dari papan berbentuk persegi empat yang dilapisi terpal biru besar. Ada juga tersedia dalam tong oranye 5000 liter dan puluhan cergen.
Prospek kedepan selalu nenek pikirkan, insting kebutuhan air sangat terdata rapih dalam perencanannya. Ia sangat tahu betapa sulitnya kehidupan bila tak ada air. Sehingga berkorban banyak untuk kebutuhan dasarnya tak ia hiraukan pengeluaran nominalnya.
Di depan halaman rumah yang terlibang cukup luas, beragam bunga dan pohon cabe panjang keriting terlihat mekar bahagia. Air yang ditampungya dipergunakan untuk merawat beragam tanama itu. Sementara dibelakang dapurnya ia tanami pohon mangga, rambutan dan jeruk.
Saat senja akan meninggalkan eksitensi warnanya, aku dan nenek sedang duduk didepan beranda rumah sambil menatap bunga-bunga yang sudah tak telihat daun hijaunya. Cahaya gelap kini menutupinya.
Nenek kemudian berkata kepadaku, untuk saja ya cucuku, nenek sudah menyimpang banyak air. Kalau tidak bunga-bunga yang sedang kita tatap ini akan terlihat layu dan bersedih.
"Iya nek," jawabku.
"Kalau suatu saat kamu sudah berkeluarga, ingat kata nenek, Prioritaskan kebutuhan dasar keluargamu dan kebutuhan rumah itu sangat penting. Kamu harus menyiapkan rencana cepat tanggap sebelum bencana menghampirimu."
Ucapan yang disampaikan nenek kepadaku tentu mengarah pada bagaimana kita memamfaatkan air dengan baik. "Air dan tumbuhan adalah anugerah Tuhan yang tidak boleh kita sia-siakan," kataku dalam hati.
Ia melanjutkan, bahwa belajar mengenal estetika hidup, kebutuhan dasar hidup dan menjaga kelestarian lingkungan merupakan hal penting yang wajib dilakukan oleh semua manusia. Ia juga berharap semua orang dilingkungannya dapat berfikir dan bertindak yang serupa.
***
Aku terlalu manja dengan kata nenek yang mengajarkanku untuk mementingkan prioritas. Berbagai agenda penyuluhan bantuan hukum yang aku lakukan bersama teman-teman paralegal, ada waktunya aku memberi materi hukum kepada warga yang buta hukum. Ada juga aku berbagi agar bagaimana mengelolah air hujan kepada warga seperti yang diajarkan nenek kepadaku.
Terus terang apa yang selama ini ku pelajari dari nenek sangat berkesan dan penuh mamfaat tentang perencanaan dan pengelolaan air. Jelas aku tak mau pengalaman yang aku dapatkan membekas di kepala. Ide untuk berbagi sesekali aku menuangkannya dalam tulisan bloggerku. Dan berdiskusi dengan teman-teman komunitas mahasiswa dan pemuda.
Intinya, sama-sama harus tahu dan bersama merasakan manfaatnya. Bila tiba krisis atau bencana kekeringan warga tidak lagi bingung, karena mereka sudah tahu apa yang haru dilakukan. Aku sangat senang, karena pengalaman yang diajarkan nenek kepadaku dapat merangsang banyak orang untuk berbuat baik bagi kehidupan.
Seprey Ac Milan sudah menungguku untuk memeluk bantal pangjangnya. Kali ini tidurku sudah penuh senyuman bahagia. Mimpiku akan bangsa yang mencintai ekologis dan ekofeminis pelan-pelan digemari masyarakat. Semuanya berkat dorongan nenek. Dank banyak nek!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H