Papua di Jakarta kemarin, tidak hanya sebagai penyampaian ekspresi melawan tindakan stigmatisai dan rasialisme. Namun juga turut menyuarakan reperendum.kemerdekaan Papua.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswaAksi demostrasi yang bertajuk "Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Mengakhiri Rasisme dan Penjajahan di West Papua" itu dibuktikan dengan terbentangnya Bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara oleh masa aksi.
Hebatnya, terbentangnya Bendera Bintang Kejora membuat aparat kepolisian tida mampu melakukan apa-apa, tidak ada penegakan hukum. Â Hanya diam membisu sambil menyaksikan lewat mata kepala, merupakan langkah pragmatis aparat penegak hukum untuk bersikaf profesional.
Apakah mengibarkan Bendera Bintang Kejora hanya boleh saja dilakukan oleh orang Papua dan tidak ditangkap? sementara di Maluku, Bendera Benang Raja nampak sedikit saja dipermukaan, langsung ditangkap tanpa basa-basi. Padahal sama-sama terlihat makar antara BK dan BR.
Tentu, ini jelas berbeda dengan peristiwa penggeledahan sekaligus penangkapan dan dipenjarakannya 5 orang Simpatisan Gerakan Separatis Front Kedaulatan Maluku-Republik Maluku Selatan (FKM-RMS) di Desa Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, pada 29 Juni 2019 lalu.
Penangkapan dilakukan oleh TNI-Polri disebabkan Bendera Benang Raja ditemukan berada dalam rumah warga. Pasalnya, Secara kontekstual kecenderungan penegakan hukum dan keadilan masih berjalan parsial, tidak simultan.
Bahwa kemudian apa yang dialami para korban penangkapan di Maluku tidak seperti aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Jakarta, dengan gagah berani Bendera Bintang Kejora diarak-arakan dan tampak aman-aman saja.
Distribusi Politik Grasi Tidak Berkeadilan
Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo memberikan grasi atau pengurangan masa hukuman kepada lima tahanan politik Papua. Setelah itu mereka dinyatakan bebas.
Tapi tidak untuk tahanan politik dari Maluku yang kini tersisa 13 orang. Sementara di awal tahun 2019, pembebasan tanpa syarat diberikan kepada Ust Abubakar Bas'yir oleh Presiden Jokowi.
Distribusi politik grasi yang dilakukan Presiden Jokowi tengah memberikan ruang pelayanan yang sangat parsial kepada para tahanan politik. Ada yang di istimewahkan, ada juga yang tidak.
Tapol 13 orang yang membentangi  Bendera RMS dilapangan Merdeka Ambon, pada 2007 lalu, kini sudah 12 tahun menjalani hukuman dalam penjara. Bahkan ada beberapa orang dari mereka sudah mengajukan grasi tapi tak satupun direspon oleh Komnas HAM dan Pemerintah.
Padahal, sesama anak bangsa semestinya mendapat perlakuan yang sama dalam politik, hukum, dan tentu hak asasi manusia (HAM).
Dilansir dari amboneksprees, organisasi Human Rigth Watc dan Amnesty International Menyadari bahwa Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menjunjung tinggi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.
Mesti pihak Presiden melihat sudah sepatutnya dipertimbangkan secara positif untuk segera memberikan pembebasan kepada tapol asal Maluku yang telah mengajukan Grasi.
Pada prinsipnya, Maluku bukan anak tiri dan Papua bukan anak emas, tetapi kita anak Indonesia. Bersikaplah seadil-adilnya dalam melayani dan memberi hukuman. Jangan tebang pilih bila tidak ingin pemberontakan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H