Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Dilarang, Berikan Ruang Ekspresi terhadap Orang Papua

22 Agustus 2019   15:23 Diperbarui: 22 Agustus 2019   16:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demonstrasi memperingati 1 Desember 2017, yang dianggap sebagai hari kedaulatan Papua, di kantor PT Freeport Indonesia di Jakarta dilarang oleh polisi. Setelah negosiasi, aksi itu diizinkan digelar di dekat Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: 285 demonstrasn dijaga oleh 400 personel polisi dan tiga mobil rumah tahanan.

Di Malang, pada 1 Juli 2018, diskusi Aliansi Mahasiswa Papua dibubarkan oleh kelompok ormas dan dikawal Polres Malang Kota.

Enam hari kemudian, di Surabaya, diskusi dan pemutaran film "Peringatan 20 Tahun Peristiwa Biak Berdarah (1998)" di asrama mahasiswa Papua dibubarkan oleh aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP dengan alasan Operasi Yustisi. Sempat saling dorong, di tengah situasi, ada aparat diduga melakukan kekerasan seksual terhadap aktivis perempuan Anindya Joedino.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, dalam komentarnya untuk Tirto saat itu, mengecam pembubaran diskusi di Malang dan Surabaya "karena peristiwa itu termasuk melanggar hak berdiskusi, berpendapat, dan berserikat."

Setelahnya, pembubaran diskusi terjadi di Papua. Sekitar 107 peserta dan pemateri diskusi publik di asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang, Jayapura, ditangkap paksa pada 19 November 2018. Polisi kemudian membebaskan mereka karena tak ada dugaan kuat tindakan pidana.

Sebulan berikutnya, 1 Desember, aparat keamanan Indonesia menangkap 539 mahasiswa Papua yang terbagi di Kupang, Ternate, Ambon, Manado, Makassar, dan Surabaya. Menurut Markus Haluk dari ULMWP, dari kasus-kasus di atas, negara Indonesia "masih mempraktikkan politik rasialis bagi bangsa Papua."

Kebebasan berekspresi setiap manusia begitu juga orang Papua semestinya terjamin dalam negara yang katanya demokratis ini. Senyata, walaupun sudah dijamin dalam Undang-Undang 1945. Tetapi jaminan kebebasan berekspresi itu terjebak pada pandangan rasialisme dan stigmatisasi seperti yang dialami kemarin di Surabaya.

Apalagi dengan dilakukannya security approach, jelas ini sangat memicu pelanggaran HAM secara sistematis. Pola penyodoran pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Indonesia, sangat tidak kredibel terhadap penyelesaian masalah di Papua.

Orang Papua butuh dialog interaktif, butuh permohonan maaf, butuh kebijakan politik afirmatif dari pemerintah Indonesia. Bukan menerbangkan ratusan TNI-Polri kesana yang terkesan menimbulkan praktik-praktik meningkatnya tindak pelanggaran HAM.

Oleh sebabnya, instrumen penting demi terciptanya masyarakat adil makmur adalah menghomarti rakyat Papua sebagai integral kesatuan berbangsa dan bernegara. Instrumen lain ialah bagaimana ormas-ormas reaksioner tidak bersikap propagandais yang berpotensi menciptakan perpecahan.

Matahari terbit di timur, kita semua bersaudara. Tolong Hargai itu wahai bangsa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun