Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Dilarang, Berikan Ruang Ekspresi terhadap Orang Papua

22 Agustus 2019   15:23 Diperbarui: 22 Agustus 2019   16:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: facebook koran kejora

Gagalnya Indonesia dalam menghormati kebebasan berekspresi orang Papua sangat berakibat fatal munculnya proyek pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak bisa terbendung. Padahal seharusnya kebebasan berekspresi diberikan ruang oleh pemerintah, selama itu tidak membuat keributan. Bukan justru melarangnya.

Orang Papua dapat diasumsikan sebagai kelompok paling rentang mendapat perlakuan diskriminatif, rasis, stigamtisasi dan kekerasan. Tak hanya itu, ruang kebebasan berekspresi yang sempit bagi mereka dan cara pandang lebelin masih tercap dalam pikiran orang Indonesia, apalagi yang tidak termasuk ras melanesian

Implikasi dari kekacauan pikiran pemerintah Indonesia dan masyarakatnya dalam memahami keluh kesah Papua dan Kepapuaan, berpotensi berujung pada degradasi kemajemukan bangsa dan menciptakan praktit dehumanisasi.

Kita bisa lihat cepat-cepat dari berbagai referensi, bagaimana tingkat pelanggaran HAM yang dialami orang Papua sangat memprihatingkan. Maka jangan heran ketika terikan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri adalah pilihan politik yang paling tepat dilakukan.

Apa yang dialami teman-teman Papua di Surabaya, Malang, Ternate, Ambon, dan beberapa kota lain di Indonesia tengah menunjukan potret buruk negara Indonesia dalam menjamin tiap-tiap warganya untuk berhak mengeluarkan pendapat dimuka umum.

Saya tidak ingin berbicara, Bintang Kejora, OPM dan Sejarah Bangsa Papua. Namun penekanan yang saya maksudkan lebih memperhatikan hak asasi dasar manusia dalam kehidupan bernegara. Bagaimana kemudian impunitas masih berkuasa atas segalanya. Saya juga percaya bahwa bangsa yang demokratis adalah bangsa yang melawan praktik impunitas.

Seperti dilansir dari tirto.id United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi payung untuk gerakan politik kemerdekaan Papua, mencatat polisi menangkap 226 mahasiswa Papua pada demo 14-18 Agustus kemarin. Lokasi demo di Jayapura, Maluku, Surabaya, dan Malang.

Demo yang dilakukan mahasiswa Papua karena tidak sepakat dalam kesepakatan New York 1962. Beberapa korban penangkapan paksa dan kekerasan TNI-Polri dalam aksi peringatan cacatnya New York Agreement 15 Agustus 2019.

Total penangkapan berjumlah 226 orang. Terkena pukul berjumlah 39 orang.  Rinciannya, 11 orang ditangkap di Maluku. 16 orang ditangkap di Maluku Utara, 16 orang dipukul. Kota Jayapura 65 orang ditangkap. Kab. Jayapura 76 ditangkap. Malang 13 orang ditangkap, 23 orang dipukul. Dan Surabaya 45 orang ditangkap.

Bukan saja itu, rentetan peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi mahasiswa Papua seperti yang dirilis tirto.id sepanjang 2017-2018, terkesan Indonesia sedang memperlihatkan daruratnya sistem demokrasi.

Pembubaran Diskusi

Demonstrasi memperingati 1 Desember 2017, yang dianggap sebagai hari kedaulatan Papua, di kantor PT Freeport Indonesia di Jakarta dilarang oleh polisi. Setelah negosiasi, aksi itu diizinkan digelar di dekat Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: 285 demonstrasn dijaga oleh 400 personel polisi dan tiga mobil rumah tahanan.

Di Malang, pada 1 Juli 2018, diskusi Aliansi Mahasiswa Papua dibubarkan oleh kelompok ormas dan dikawal Polres Malang Kota.

Enam hari kemudian, di Surabaya, diskusi dan pemutaran film "Peringatan 20 Tahun Peristiwa Biak Berdarah (1998)" di asrama mahasiswa Papua dibubarkan oleh aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP dengan alasan Operasi Yustisi. Sempat saling dorong, di tengah situasi, ada aparat diduga melakukan kekerasan seksual terhadap aktivis perempuan Anindya Joedino.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, dalam komentarnya untuk Tirto saat itu, mengecam pembubaran diskusi di Malang dan Surabaya "karena peristiwa itu termasuk melanggar hak berdiskusi, berpendapat, dan berserikat."

Setelahnya, pembubaran diskusi terjadi di Papua. Sekitar 107 peserta dan pemateri diskusi publik di asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang, Jayapura, ditangkap paksa pada 19 November 2018. Polisi kemudian membebaskan mereka karena tak ada dugaan kuat tindakan pidana.

Sebulan berikutnya, 1 Desember, aparat keamanan Indonesia menangkap 539 mahasiswa Papua yang terbagi di Kupang, Ternate, Ambon, Manado, Makassar, dan Surabaya. Menurut Markus Haluk dari ULMWP, dari kasus-kasus di atas, negara Indonesia "masih mempraktikkan politik rasialis bagi bangsa Papua."

Kebebasan berekspresi setiap manusia begitu juga orang Papua semestinya terjamin dalam negara yang katanya demokratis ini. Senyata, walaupun sudah dijamin dalam Undang-Undang 1945. Tetapi jaminan kebebasan berekspresi itu terjebak pada pandangan rasialisme dan stigmatisasi seperti yang dialami kemarin di Surabaya.

Apalagi dengan dilakukannya security approach, jelas ini sangat memicu pelanggaran HAM secara sistematis. Pola penyodoran pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Indonesia, sangat tidak kredibel terhadap penyelesaian masalah di Papua.

Orang Papua butuh dialog interaktif, butuh permohonan maaf, butuh kebijakan politik afirmatif dari pemerintah Indonesia. Bukan menerbangkan ratusan TNI-Polri kesana yang terkesan menimbulkan praktik-praktik meningkatnya tindak pelanggaran HAM.

Oleh sebabnya, instrumen penting demi terciptanya masyarakat adil makmur adalah menghomarti rakyat Papua sebagai integral kesatuan berbangsa dan bernegara. Instrumen lain ialah bagaimana ormas-ormas reaksioner tidak bersikap propagandais yang berpotensi menciptakan perpecahan.

Matahari terbit di timur, kita semua bersaudara. Tolong Hargai itu wahai bangsa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun