Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesian End Security Approach in Papua

21 Agustus 2019   22:26 Diperbarui: 21 Agustus 2019   22:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya mobilisasi pendekatan keamanan (security approach) yang digemborkan pemerintahan Indonesia terhadap Bangsa Papua, jelas sangat berdampak buruk dan memungkinkan akan menimbulkan praktik dehumanisasi secara besar-besaran.

Hal ini jelas bertolak belakan dengan martabat manusia (human dignity) bahwa dalam prinsip HAM  setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, jender, orienasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial.

Setiap manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarki.

Bahkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, langkah security approach merupakan legitimasi pemerintah pusat yang kerap kali mendatangkan malah bahaya.

Fatalnya pola yang dijalankan tidak melihat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tidak bisa dicabut hak hidupnya oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.

Bahwa kemudian dari masa Presiden Soekarno hingga Joko Widodo telah terjadi tiga periodesasi upaya pendekatan pemerintahan Indonesia terhadap bangsa Papua.

SETARA Institute, dalam laporannya mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.

Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).

Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.

Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kita semua tahu Papua dan West Papua, dari hulur hingga hilir masih aktif mengkampanyekan kemerdekaanya. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah Indonesia terbilang gagal.

Apalagi insiden rasialisme kemarin yang menimpa teman-teman Mahasiswa Papua di Surabaya. Tentu akan menambah revolusi gerakan yang menguat di sebagian orang pro kemerdekaan Papua.

Senyatanya, praktik rasialisme dan stigmatisasi membuat heboh besar-besaran di Jayapura, Manokwari, Sorong, dan kota-kota lain di Papua.

Insiden tersebut kemudian teredahkan oleh upaya permintaan maaf Presiden Jokowi, Kapolri, dan Gubernur Jawa Timur, Juga Gubernur Papua, Lenis Kogoya dan Masyarakat Papua. Namun sebelum itu banyak fasilitas publik telah hangus terbakar akibat kekecawaan masyarakat.

Disisi lain ratusan Brimob dan Kostrad dikirimkan ke Papua. Untuk apa? Sejarah sudah membuktikan, cara-cara represi justru akan menghasilkan perlawanan lebih besar.

Rakyat Papua melakukan aksi protes yang secara umum berlangsung dengan damai, terorgansir dengan baik. Suara protes yg massal, harusnya dicari akarnya, dan solusinya, bukan malah dibungkam, ditakut-takuti.

Dilansir dari The Conversation, Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telah mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018.
 
Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan -- 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Apa Yang Mesti Dilakukan?

Pertanyaan seperti ini pasti lahir dari banyak mulut orang Indonesia, tentu saja. Setelah puluhan tahun rakyat Papua mengalami degradasi kemanusiaan, proses pemulihan pun tentu akan terlihat sulit.

Ditambah lagi praktik rasialisme yang makin meningkat dan lebelin kotor, bau, dan monyet seperti peristiwa kemarin, tentu itu merupakan gejala stagnansi bangsa dalam bernegara yang demokratis.

Namun saya tidak ingin menjadi orang yang gampang pesimis dalam menanggapi kekisruhan ini. Orang Papua bagi saya memiliki hati yang bening dan suci seperti Papeda. Mama-mama Papua terlalu besar hatinya dalam menerima semua penderitaan.

Oleh karenanya, pertama pola security approach harus diminimalisasikan oleh pemerintah pusat. Gerakan militeristik adalah iblis nyata kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Berikutnya, rasialisme dan stigmatisasi bawaan kolonial yang semestinya dihilangkan dalam bangsa yang penuh dengan kemajemukan ini. Begitu juga dengan pola-pola diskriminasi.

Tambahan lagi, masyarakat Indonesian beserta pemerintahannya harus tahu betul apa yang diinginkan Papua dan West Papua. Jangan asal membangun infrastruktur fisik saja tetapi luput membangun manusianya.

Dari sisi ekonomi, BBM satu harga bukanlah indikator kesejahteraan. Namun bagaimana seluruh kekayaan alam dapat dipergunakan sebagaimana kebutuhan dasar hidup masyarakat disana.

Bila semuanya terlaksana dengan baik, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat. Sebagai penutup, "Papua tanpa Indonesia Bukanlah Indonesia, Begitu juga Indonesia Tanpa Papua Bukanlah Indonesia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun