Kita semua tahu Papua dan West Papua, dari hulur hingga hilir masih aktif mengkampanyekan kemerdekaanya. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah Indonesia terbilang gagal.
Apalagi insiden rasialisme kemarin yang menimpa teman-teman Mahasiswa Papua di Surabaya. Tentu akan menambah revolusi gerakan yang menguat di sebagian orang pro kemerdekaan Papua.
Senyatanya, praktik rasialisme dan stigmatisasi membuat heboh besar-besaran di Jayapura, Manokwari, Sorong, dan kota-kota lain di Papua.
Insiden tersebut kemudian teredahkan oleh upaya permintaan maaf Presiden Jokowi, Kapolri, dan Gubernur Jawa Timur, Juga Gubernur Papua, Lenis Kogoya dan Masyarakat Papua. Namun sebelum itu banyak fasilitas publik telah hangus terbakar akibat kekecawaan masyarakat.
Disisi lain ratusan Brimob dan Kostrad dikirimkan ke Papua. Untuk apa? Sejarah sudah membuktikan, cara-cara represi justru akan menghasilkan perlawanan lebih besar.
Rakyat Papua melakukan aksi protes yang secara umum berlangsung dengan damai, terorgansir dengan baik. Suara protes yg massal, harusnya dicari akarnya, dan solusinya, bukan malah dibungkam, ditakut-takuti.
Dilansir dari The Conversation, Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telah mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018.
Â
Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan -- 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Apa Yang Mesti Dilakukan?
Pertanyaan seperti ini pasti lahir dari banyak mulut orang Indonesia, tentu saja. Setelah puluhan tahun rakyat Papua mengalami degradasi kemanusiaan, proses pemulihan pun tentu akan terlihat sulit.
Ditambah lagi praktik rasialisme yang makin meningkat dan lebelin kotor, bau, dan monyet seperti peristiwa kemarin, tentu itu merupakan gejala stagnansi bangsa dalam bernegara yang demokratis.
Namun saya tidak ingin menjadi orang yang gampang pesimis dalam menanggapi kekisruhan ini. Orang Papua bagi saya memiliki hati yang bening dan suci seperti Papeda. Mama-mama Papua terlalu besar hatinya dalam menerima semua penderitaan.