Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesian End Security Approach in Papua

21 Agustus 2019   22:26 Diperbarui: 21 Agustus 2019   22:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ig koran_kejora

Kita semua tahu Papua dan West Papua, dari hulur hingga hilir masih aktif mengkampanyekan kemerdekaanya. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah Indonesia terbilang gagal.

Apalagi insiden rasialisme kemarin yang menimpa teman-teman Mahasiswa Papua di Surabaya. Tentu akan menambah revolusi gerakan yang menguat di sebagian orang pro kemerdekaan Papua.

Senyatanya, praktik rasialisme dan stigmatisasi membuat heboh besar-besaran di Jayapura, Manokwari, Sorong, dan kota-kota lain di Papua.

Insiden tersebut kemudian teredahkan oleh upaya permintaan maaf Presiden Jokowi, Kapolri, dan Gubernur Jawa Timur, Juga Gubernur Papua, Lenis Kogoya dan Masyarakat Papua. Namun sebelum itu banyak fasilitas publik telah hangus terbakar akibat kekecawaan masyarakat.

Disisi lain ratusan Brimob dan Kostrad dikirimkan ke Papua. Untuk apa? Sejarah sudah membuktikan, cara-cara represi justru akan menghasilkan perlawanan lebih besar.

Rakyat Papua melakukan aksi protes yang secara umum berlangsung dengan damai, terorgansir dengan baik. Suara protes yg massal, harusnya dicari akarnya, dan solusinya, bukan malah dibungkam, ditakut-takuti.

Dilansir dari The Conversation, Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telah mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018.
 
Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan -- 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Apa Yang Mesti Dilakukan?

Pertanyaan seperti ini pasti lahir dari banyak mulut orang Indonesia, tentu saja. Setelah puluhan tahun rakyat Papua mengalami degradasi kemanusiaan, proses pemulihan pun tentu akan terlihat sulit.

Ditambah lagi praktik rasialisme yang makin meningkat dan lebelin kotor, bau, dan monyet seperti peristiwa kemarin, tentu itu merupakan gejala stagnansi bangsa dalam bernegara yang demokratis.

Namun saya tidak ingin menjadi orang yang gampang pesimis dalam menanggapi kekisruhan ini. Orang Papua bagi saya memiliki hati yang bening dan suci seperti Papeda. Mama-mama Papua terlalu besar hatinya dalam menerima semua penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun