Upaya mobilisasi pendekatan keamanan (security approach) yang digemborkan pemerintahan Indonesia terhadap Bangsa Papua, jelas sangat berdampak buruk dan memungkinkan akan menimbulkan praktik dehumanisasi secara besar-besaran.
Hal ini jelas bertolak belakan dengan martabat manusia (human dignity) bahwa dalam prinsip HAM Â setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan, etnis, ras, jender, orienasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial.
Setiap manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarki.
Bahkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, langkah security approach merupakan legitimasi pemerintah pusat yang kerap kali mendatangkan malah bahaya.
Fatalnya pola yang dijalankan tidak melihat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tidak bisa dicabut hak hidupnya oleh siapapun dan dalam kondisi apapun.
Bahwa kemudian dari masa Presiden Soekarno hingga Joko Widodo telah terjadi tiga periodesasi upaya pendekatan pemerintahan Indonesia terhadap bangsa Papua.
SETARA Institute, dalam laporannya mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.
Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).
Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.
Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.