Keluhuran budaya itu ditunjukkan banyak hal. Misalnya, dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan penanaman lima bibit pohon. Sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan menanam 10 bibit pohon.
"Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar," ujar Syaiful.
Warga O'Hongana Manyawa juga tak hanya mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan berburu, meramu, atau mencari ikan. Mereka juga sudah memiliki budaya bercocok tanam, meski masih berpindah-pindah. Bagaimanapun itu menjadi bukti berkembangnya budaya di antara mereka.
Kebiasaan berburu dan meramu itu menimbulkan budaya lain di antara mereka: menghormati hutan.
"Dalam alam pemahaman mereka, bagaimana mereka memperlakukan hutan, merupakan jaminan bagi ketahanan pangan. Hutan bahkan tidak hanya menjadi sumber daya ekonomi, tetapi merupakan suatu kosmos, tempat aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, dan sebagainya berinteraksi membangun kehidupan yang utuh," kata Syaiful.
Konsepsi diri dan lingkungan warga O'Hongana Manyawa itu tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari), yang menjadi acuan kehidupan mereka. Nilai-nilai Wowango mereka tempatkan juga untuk kepentingan komunitas di masa akan datang (future), dalam arti setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya demi kelangsungan kehidupan anak cucu mereka. Sementara tradisi Lilingiri berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O'Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan keseharian, meramu dan berburu.
Karena telah berbudaya itulah, maka komunitas Tobelo Dalam memiliki kewajiban pribadi masing-masing untuk menghayati dan mewujudkan lima sikap hidup dalam  keseharian.
Kelima sikap hidup itu adalah  O dora atau berbelas kasih; O hayangi atau saling tepa selira, O baliara yakni saling memelihara dan menjaga, O adili atau kesetaraan dan keadilan, dan O diai yakni saling memperbaiki, saling mendukung.
----
Tobelo Dalam dan Laut
Yang menarik, selama ini kaum Tobelo Dalam selalu disebutkan (hanya) sebagai suku pedalaman yang menghuni hutan dan pegunungan, dengan kebudayaan yang juga khas suku-suku pedalaman.
Namun menurut Sefnat Tagaku, seorang mahasiswa jurusan teologi Universitas Halmahera (Uniera) yang merujuk pendapat dosen pengajarnya yaitu Pendeta Arkipus Djurubasa, M.Th untuk mata kuliah  "Agama Suku di Halmahera", suku Tobelo Dalam masih perlu diteliti lebih lanjut untuk "hanya" dianggap sebagai suku pedalaman. Pendeta Arkipus juga tak sepenuhnya memegang pendapat bahwa orang Tobelo disebut berasal dari Talaga Lina.
"Mungkin untuk sebagian, tapi tidak untuk seluruhnya," kata Sefnat dalam sebuah artikel di satu media Maluku Utara, mengutip dosennya.
Pendeta Arkipus yakin, kata "Tobelo" sendiri berasal dari dua kata, yaitu "To" dan "Beloho". "To" berarti "saya" dan "Beloho" berarti "patok", "tanda", atau "penahan". Hal itu lebih dekat pada seseorang yang membuat penahan perahu yang sementara dilabuhkan. Kebiasaan membuat penahan perahu yang sementara dilabuhkan ini masih dipraktikkan hingga saat ini oleh orang-orang Tobelo. Caranya cara menanamkan tiang di saat pembuatan perahu, untuk membantu penimbun perahu (semang-semang) agar tidak mudah dihanyutkan ombak.