"Kelompok ini yang paling kasihan. Hidup mereka terlunta-lunta. Di kelompok mereka banyak terjadi gizi buruk," papar Rudi.
Suatu saat, kepada situs berita lingkungan Mongabay, Rudi terlihat prihatin dengan nasib warga Suku Anak Dalam yang terlunta-lunta di luar area TNBD itu.
"Yang di luar, ini yang hari ini bermasalah, karena tidak punya ruang. Bahasa kasarnya tidak lagi punya tanah untuk ruang hidup," kata dia kepada Mongabay.
"Kalau yang di dalam kawasan mereka masih happy," sambungnya.
Namun tampak pula keyakinan dirinya bahwa kondisi pun telah membuat warga Suku Anak Dalam banyak berubah. Rudi yakin bila mereka didorong dalam sebuah program seperti transmigrasi masih ada harapan cerah untuk masa depan mereka.
"Kalau pemerintah hari ini mendorong mereka untuk memiliki lahan dan membangunkan rumah, kami sangat setuju," kata Rudi.
Dia mendukung niat pemerintah mendorong Orang Rimba menetap dalam kawasan terpadu, meski ia tahu betul bahwa program merumahkan orang Rimba bukanlah ideal.
"Idealnya dikasih hutan, tapi itu sudah tidak mungkin. Sebab biaya menyediakan lahan di hutan lebih mahal dibanding merumahkannya," jelas Rudi.
Program transmigrasi, katanya, sangat terpadu. Masyarakat dapat perumahan, jatah hidup, ada penyuluhan, pendampingan, bantuan bibit, dan yang terpenting lahan garapan.
"Buktinya (transmigrasi) Rimbo Bujang, sukses. Bergurulah kepada (program) transmigrasi," kata dia.
Dari sana kita tahu, mungkin Rudi ingin menebus apa yang terjadi pada tahun 2000 lalu. (*)