Tesis itu menulis, "...Kegemparan lainnya menyangkut salah satu penasihat ahli yang tertera di sampul depan buku RPTNBD tersebut, di mana tertera nama LSM Warsi yang telah sejak lama menjadi pendamping dan dianggap sebagai teman bagi mereka." Â
Lebih lanjut tesis itu menulis, "...Buku tebal RPTNBD tersebut kemudian memberi informasi tambahan yang membuat kaget dan menimbulkan kemarahan karena salah satu pihak yang tertera dalam penyusunannya adalah Warsi yang selama ini paling intensif mendampingi dan berkegiatan di Bukit Duabelas, dan sebelumnya dianggap pembela kepentingan-kepentingan Orang Rimba. Akibatnya sebagian besar Orang Rimba yang menghadiri pertemuan adat menyimpulkan bahwa Warsi mesti bertanggung jawab atas lahirnya aturan kebijakan yang merugikan tersebut."
Warsi sendiri, lewat media yang mereka kelola, 'Alam Sumatera dan Pembangunan' (kini bernama 'Alam Sumatera') volume 1, Januari 2001, menyatakan bahwa TNBD memang pilihan sulit, namun peraturan perundangan di Indonesia mengenai cagar biosfer belum lengkap. Satu-satunya yang memuat kata "cagar biosfer" hanya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Tidak ada peraturan pelaksanaan mengenai cagar biosfer. Itu yang membuat proses menjadikan kawasan komunitas Suku Anak Dalam itu sulit ditetapkan sebagai Cagar Biosfer, yang lebih memungkinkan kehidupan Suku Anak Dalam terjamin.
Hal itu tampaknya bisa dimengerti oleh sebagian kalangan Orang Rimba, namun mereka menyayangkan keterlibatan Warsi dalam penyusunan buku "RPTNBD" karena dianggap tak berusaha melahirkan aturan yang lebih berpihak bagi kepentingan subsistensi Orang Rimba. Itu yang kemudian menjadi hal utama yang memantik kekecewaan warga Suku Anak Dalam. Tapi belakangan diketahui bahwa sejak awal pun sikap Warsi memang berada di arus besar konservasi. Hal itu terlihat dalam dua artikel di buletin 'Alam Sumatera dan Pembangunan', yang dikemukakan oleh koordinator program sebuah proyek konservasi yang diimplementasikan kepada Orang Rimba di TNBD. Kutipan verbatim dalam buletin tersebut antara lain:
"...Orang Rimba disiapkan menjadi penduduk tetap di luar hutan, terutama di sekitar kebun karet yang akan mereka upayakan sendiri atau dengan bantuan Warsi. Persiapan lain adalah sekolah yang dikembangkan di tempat-tempat mereka berada agar generasi mudanya tidak lagi buta huruf. Kemampuan baca-tulis-hitung merupakan syarat mutlak untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan dunia luar. Selanjutnya dukungan fasilitator kesehatan Warsi dapat menambah kesiapan Orang Rimba ke dunia luar, secara perlahan terikat pada pemanfaatan fasilitas kesehatan umum di sekitar hutan. Kawasan pinggiran taman menjadi sangat strategis bagi penghidupan Orang Rimba di masa depan bila dikaitkan dengan proses perubahan sosial Orang Rimba dan ketersediaan akses dan ekonomi pasar. Sesuai dengan konsep pengelolan taman, maka kawasan sisi paling luar TNBD dapat dimasukkan menjadi zona pemanfaatan bagi Orang Rimba. Zona pemanfaatan ini harus dapat memberikan fasilitasi dan akses yang seluas-luasnya bagi Orang Rimba untuk dapat berpartisipasi ke sistem yang berlaku umum di dunia luar. Dengan demikian kawasan ini akan menjadi sentra ekonomi dan sentra perubahan sosial Orang Rimba di masa depan..." ('Alam Sumatera dan Pembangunan' No. 3 Desember 2002 dan No. 8 Januari  2005)
Hal itu kembali ditegaskan dalam sebuah artikel di 'Alam Sumatera dan Pembangunan', Â No. 3 Desember 2002 yang menyatakan, "Dengan kata lain, taman akan berperan memfasilitasi secara perlahan-lahan adaptasinya dengan dunia luar yang terdukung oleh kebudayaan mereka sendiri."
Sejak itu berbagai LSM pendamping Suku Anak Dalam yang lain melihat Warsi sebagai pendukung utama konservasi alam. Sementara mereka melihat - sebagaimana juga ditegaskan Nick Salafsky dan Eva Wollenberg dari  University of Vermont dalam artikel "Linking Livelihoods and Conservation: A Conceptual Framework and Scale for Assessing the Integration of Human Needs and Biodiversity" - bahwa dengan tujuan utama untuk perlindungan sumber daya, spesies, dan degradasi habitat maka pendekatan konservasi akan memandang tujuan kesejahteraan masyarakat tidak sejalan dengan tujuan dan strateginya. Konservasi alam dengan mekanisme penjagaannya melarang aktivitas pemanfaatan sumber daya hutan demi tujuan konsumtif. Hal itu dikuatkan kajian Celia Lowe pada 2006 melalui "Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago", yang dengan sinis menyatakan bahwa konservasi tidak berazaskan pada keadilan sosial."
Terpecahnya sikap LSM pendamping warga Suku Anak Dalam tersebut ditunjukkan dengan tegas oleh pernyataan Walhi Jambi, lewat pernyataan salah seorang aktivisnya saat itu.
Tesis Dodi mencatat, aktivis Walhi itu mengatakan, "Kepentingan manusia mesti didahulukan dibandingkan kepentingan konservasi." Ia juga membandingkan secara kontras bagaimana Warsi melihat konservasi dalam cara pandang yang menurutnya berlainan dengan Walhi Jambi.
"Mereka itu ekofasis, yang memandang konservasi bukan untuk manusia, tapi untuk menyelamatkan tumbuhan atau binatang. Wajar mereka sepakat dengan (Dinas) Kehutanan dalam soal TNBD," katanya.
Tentu saja kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang bisa ditaruh dalam labu kaca yang sering kita pakai di laboratorium. Kehidupan, begitu pula sikap manusia, sering berubah sesuai tantangan dan perubahan kondisi meski perubahan itu terbilang kecil sekalipun.
Warsi pun bisa saja berubah. Paling tidak setelah melihat nasib warga Suku Anak Dalam yang keluar hutan dan berdiam di kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang terus dirundung nestapa.
"Mereka bertahan karena di tempat itu leluhur, kakek, dan orang tua tinggal," ujar Direktur Warsi Rudi Syaf kepada detikcom, enam tahun lalu.