Sore di bulan Agustus 2005 itu menjadi penanda paradoks bagi nasib Suku Anak Dalam.
Kabut asap pekat dari batang rokok dan lintingan tembakau yang memenuhi ruangan sidang adat saat itu seakan memberi nubuat bahwa masa-masa lebih kelam bagi masyarakat Suku Anak Dalam akan segera datang.
Di satu sisi pertemuan penting tentang masa depan Suku Anak Dalam itu seolah "meresmikan" nasib yang lebih merana. Suku Anak Dalam terbuang dari tanah mereka sendiri karena berlakunya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD).
Di sisi lain setelah bertahun-tahun bergaul dan mendapatkan pendampingan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, hingga menganggap lembaga swasaya masyarakat (LSM) itu teman yang mereka percaya mewakili kepentingan Suku Anak Dalam, wajar bila hari itu masyarakat Suku Anak Dalam merasa dikhianati!
Warsi, ternyata, justru jadi penasihat ahli dari rencana besar RPTNBD yang "membuang" masyarakat Suku Anak Dalam dari hutan nenek moyang mereka!
Sore itu menjadi klimaks pertemuan yang telah berlangsung dua hari dua malam karena peliknya persoalan. Tepat setelah buku tebal terbitan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi berjudul "Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD)" itu selesai dibaca dan diterjemahkan tokoh pemuda Suku Anak Dalam dari Makekal Hulu, Pengendum Tampung, reaksi masyarakat Suku Anak Dalam yang hadir pun bermunculan satu sama lain secara impulsif. Â
Dengung gerutuan, lengkingan dan jerit kecewa, juga umpat dan maki, merebak seketika. Membuat ruangan yang pekat dengan asap nikotin itu kian terasa pengap.
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), wilayah hutan tempat nenek moyang Suku Anak Dalam hidup sekian generasi sebelumnya, yang sebelumnya digembar-gemborkan bisa melindungi kehidupan dan adat kaum Suku Anak Dalam oleh Warsi, faktanya justru serangkai rencana yang dapat menyebabkan masyarakat Suku Anak Dalam keluar dari TNBD.
Mereka akan digiring menempati satu kawasan tertentu bernama zona pemanfaatan tradisional, lokasinya di tepian hutan di luar kawasan selama ini, yang tentu saja miskin dari sumber daya alam yang selama ini menghidupi mereka.
Suasana pertemuan tiba-tiba berubah drastis saat bunyi bising itu seketika mati dan hening.
Tumenggung Mirak, tokoh yang memimpin pertemuan adat itu, melompat berdiri dari duduknya, berteriak lantang, dan bertabur seloka yang mengingatkan masyarakat Suku Anak Dalam akan petuah para nenek moyang mereka.