Dalam hukum perdata perkawinan merupakan bagian dari perjanjian sehingga dianggap sebagai hubungan keperdataan, dalam pasal 23 KUHPerdata dijelaskan bahwasanya, perkawinan yang sah ialah perkawinan yang memenuhi syarat berdasarkan KUHPerdata. Lalu bagaimana dengan perkawinan campur? Perkawinan campur ialah perkawinan yang terlaksanakan oleh dua orang di Indonesia yang taat atau berpegang teguh pada hukum yang berlainan karena diskrepansi warga negara dan salah satunya adalah warga negara Indonesia.Â
Hukum perdata tidak memiliki penjelasan spesifik mengenai arti dari sebuah "perkawinan". Pasal 27 BW hanya menyatakan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan diantara seorang laki-laki dan perempuan yang berarti tidak sedang dalam status nikah, sehingga bersifat monogami. Pasal 104 BW menjelaskan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang diberlangsungkan antara seorang suami dan istri dalam mengurus anaknya. Dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata tidak mempermasalahkan perkawinan campur antara warga Indonesia dengan negara asing selama perkawinan tersebut memenuhi asas-asas perkawinan menurut hukum perdata di Indonesia. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila ingin melaksanakan perkawinan campur.
Perkawinan beda negara yang dilaksanakan di Indonesia dijalankan sesuai undang -- undang di Indonesia yaitu mengikuti syarat dan asas dalam pernikahan yang telah diatur dalam UU Perkawinan, sedangkan apabila perkawinan dilaksanakan di luar negeri artinya perkawinan tersebut termasuk dalam kategori perkawinan di luar Negara Indonesia.Â
Menurut pasal 83KUHPerdata memaparkan bahwa pernikahan/perkawinan yang dilakukan di luar negara Indonesia dibilang sah apabila dijalankan sesuai dengan hukum yang sedang berfungsi di negara dimana perkawinan itu diberlangsungkan dan bagi pihak dari negara Indonesia ia tidak melanggar kepastian dan ketetapan dalam undang -- undang perkawinan. Pasal 84 BW juga menjelaskan bahwa selanjutnya dalam kurun satu tahun sehabis suami dan istri tersebut balik ke Indonesia, surat bukti perkawinannya wajib untuk dicatat oleh kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.Â
Artinya perkawinan campur antara warga negara Indonesia dan warga negara asing yang diberlangsungkan di luar negara dianggap sah-sah saja di Indonesia apabila dapat dibuktikan secara sah telah diakui oleh negara tempat diberlangsungkannya pernikahan tersebut. Sama halnya bila perkawinan campur dilangsungkan di Indonesia, maka pernikahan tersebut harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Namun apakah setiap pernikahan campuran yang disahkan diluar negeri sudah pasti akan diterima dan diakui di Indonesia? Misalkan saja perkawinan antar sesama jenis kelamin atau perkawinan yang ingin dilangsungkan antara seseorang Muslim dengan Non-muslim. Pasalnya tidak ada peraturan yang mengatur hal demikian. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan bahwa pernikahan dilaksanakan menurut kepercayaan agama masing-masing. Di Indonesia sendiri perkawinan antara seorang Muslim dan non-Muslim sangat ditentang dan tidak akan dianggap sah kecuali adanya keputusan untuk memilih salah satu cara/keyakinan untuk melangsungkan perkawinan tersebut.Â
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pernikahan juga menjelaskan bahwa pernikahan dapat dicatat secara resmi apabila tidak melanggar ketentuan Undang-Undang yang berlaku, yang mana sudah jelas tertulis di dalam KUHPerdata dan Undang-Undang pernikahan bahwa pernikahan hanya dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dalam Undang -- Undang dijelaskan bahwa Warga Negara yang berdomisili di Indonesia yang melakukan perkawinan dengan warga asing sehabis perkawinan ia tidak kedapatan mempunyai hak atas tanah. Aturan ini sudah terpaparkan dalam pasal 35 Undang -- Undang perkawinan yang mengungkapkan bahwasanya harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dengan demikian seorang berstatus WNI yang nikah bersama WNA sehabis menikah tidak boleh memper-oleh hak milik, guna bangunan dan guna usaha, dikarenakan harta tersebut menjadi  harta bersama yang dikuasainya dengan pasangan WNA-nya, dengan demikian apabila masih ingin mempunyai hak milik atas tanah dengan nama sendiri diharuskan untuk membuat perjanjian perkawin supaya tidak ada pencampuran harta yang diper-oleh setelah terjadinya perkawinan beda Negara atau campur.
Perjanjian perkawinan termasuk dari divisi dari lapangan hukum keluarga yang di atur dalam buku satu KUHPerdata, secara singkatnya perjanjian perkawinan bertujuan untuk mengikat para mempelai dalam perkawinannya itu sendiri. Perjanjian perkawin dapat dilakukan pada waktu pra terlaksananya perkawinan atau sedang dalam ikatan perkawinan, dan hal tersebut harus dan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana.
 PEMBAGIAN HARTA DAN WARISAN  DALAM KUH-PERDATA
Adakah kesepakatan nikah mengenai pemisahan harta antara suami dan istri sebelum menikah?
Jika perjanjian nikah ditandatangani sebelum nikah, pada hakikatnya akad tersebut memisahkan seluruh harta dan kekayaan antara suami dan isteri, maka dalam hal terjadi perceraian, baik suami maupun isteri hanya akan mendaftarkan hartanya atas namanya. Karena istilah harta bersama tidak dikenal, atau istilah orang awam disebut "harta gono gini", dalam hal ini suami tidak berhak menerima dividen dari usaha tersebut dan harta lain milik istri, begitu pula sebaliknya.
Jika pasangan suami istri belum pernah mencapai Perjanjian Nikah, maka menurut Pasal 119 KUH Perdata, sejak tanggal perkawinan dilaksanakan, menurut undang-undang akan terjadi harta campuran di antara keduanya (jika perkawinan dilakukan oleh kedua belah pihak pasangan suami istri yang bersangkutan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - "UU Perkawinan").Â
Akibatnya harta istri menjadi milik suami begitu pula sebaliknya yang berarti harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan selama perkawinan, atau harta yang diperoleh dari usaha suami istri selama masa perkawinan disebut harta bersama. Menurut ketentuan Pasal 126 KUH Perdata, perceraian berujung pada pembubaran harta bersama, sehingga pasangan harus berbagi harta bersama di antara pasangan. Pembagian harta bersama juga mencakup segala keuntungan dan kerugian yang diperoleh suami dan istri dari usaha dan kerja keras selama mereka masih menikah.
Namun ada perbedaan sebelum dan sesudah berlakunya "UU Perkawinan", ketentuan tentang harta benda, yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) "UU Perkawinan". Yang menjadi perbedaanya ialah sebagian harta yang mana untuk menjadi harta bersama. Kemudian, dalam KUHPerdata, semua aset suami istri menjadi harta bersama. Â Â Â Â
Dalam hukum perkawinan, harta bersama ialah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, dan harta yang diperoleh sebelum perkawinan akan menjadi harta bawaan dari kedua pasangan suami istri. Selama para pihak tidak memiliki keputusan lain, harta bawaan dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan berada di bawah kendali mereka masing-masing.
Oleh karena itu, apabila diperoleh investasi (harta) dalam perkawinan, dalam hal perkawinan menurut Pasal 37 UU Perkawinan, hal tersebut akan menjadi harta bersama yang harus dibagi bersama oleh pasangan. Dalam penyelesaian pembagian harta bersam dalam perkawinan, praktisi hukum dapat mengacu pada KUHPerdata sebagai dasar hukum pembagian harta perkawinan.
1.Aturan harta waris menurut kuhperdata Pasal 830 (Pewarisan hanya terjadi karena adanya kematian.)
Dalam pasal tersebut ditegaskan pembagian harta warisan baru bisa dilakukan setelah terjadi kematian.
2.Yang berhak untuk menerima warisan Pasal 832
yang berhak Golongan I: keluarga yang berada pada garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak, dan keturunan beserta suami atau istri yang hidup lebih lama.
Golongan II: keluarga yang berada pada garis lurus ke atas, seperti orang tua dan saudara beserta keturunannya.
Golongan III: terdiri dari kakek, nenek, dan leluhur.
Golongan IV: anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga lainnya hingga derajat keenam.
3.Yang dicoret sebagai ahli waris jika melakukan tindakan kriminal seperti berikut Pasal 383
  1. Melakukan pencegahan untuk mengesahkan atau mencabut surat wasiat.
  2. Memalsukan, merusak, atau menggelapkan keberadaan surat wasiat.
  3. Berupaya membunuh atau telah membunuh pewaris.
4. Terbukti bersalah berusaha merusak nama baik pewaris.
Sumber refensiÂ
1. Â http://www.luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU1-1974Perkawinan.pdf - UU Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2)
2. https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/peraturan_file_kuhperdata.pdf - Pasal KUHPerdata
file:///C:/Users/Surface/Downloads/12218398.pdf
3. https://media.neliti.com/media/publications/164410-ID-akibat-hukum-perjanjian-perkawinan-yang.pdf [ akibat hokum perjanjian perkawinan ]
4. http://etheses.uin-malang.ac.id/123/6/07210047%20Bab%202.pdf [ Perkawinan dalam hokum perdata ]
5. https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/361 [Hukum harta bersama ditinjau dari perspektif UU Perkawinan dan KUH Perdata ]
6. http://www.luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU1-1974Perkawinan.pdf  - UU Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2)
7. Â https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/peraturan_file_kuhperdata.pdf - Pasal KUHPerdata
file:///C:/Users/Surface/Downloads/12218398.pdf
9. https://pasalkuhp.blogspot.com/2016/12/kuh-perdata-pasal-831-pasal-832-pasal.html
10. http://eprints.ums.ac.id/37899/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H