Di masa lalu, ketika manusia dan alam masih hidup dalam harmoni yang murni, ada sebuah desa kecil bernama Tanjung Sari. Terletak di tepi Sungai Barito, desa ini dikenal akan kedamaian dan keindahan alamnya. Sungai Barito, yang mengalir lembut melalui hutan lebat, memberikan kehidupan, kesuburan, dan kekuatan spiritual kepada penduduk desa.
Menurut legenda, di dalam kedalaman Sungai Barito, hidup seekor naga air bernama Wulanga. Wulanga dipercaya sebagai pelindung dan penjaga keseimbangan alam. Naga ini memiliki sisik yang bersinar biru kehijauan, dan matanya yang tajam mampu menembus kedalaman air dan hutan di sekitarnya. Meskipun tak ada yang pernah melihat Wulanga secara langsung, masyarakat desa percaya bahwa naga itu melindungi mereka dari bahaya. Setiap tahun, mereka mengadakan upacara di tepi sungai, meninggalkan persembahan berupa buah-buahan dan bunga.
Namun, kedamaian ini mulai terganggu ketika kabar buruk menyebar ke seluruh penjuru desa. Sekelompok perusak bernama Kelompok Cakar Besi telah tiba di hutan utara desa. Mereka berniat menebang pohon dan mencemari sungai untuk kepentingan pribadi mereka. Kelompok ini dipimpin oleh Guntur Wira, seorang pria yang sangat ditakuti.
Guntur Wira adalah ketua yang brutal dan berbahaya. Tubuhnya besar dan kekar, penuh bekas luka dari berbagai pertempuran. Rambut hitam panjangnya sering diikat ke belakang, dan janggut lebatnya menambah kesan menakutkan. "Hancurkan semuanya!" teriak Guntur dengan suara yang menggema. "Kita akan membangun kerajaan baru di sini!"
Pak Hadi, kepala desa yang bijaksana, sangat khawatir. Meskipun usianya lanjut, matanya yang coklat tua memancarkan kekhawatiran mendalam. "Kelompok Cakar Besi datang dengan alat berat dan bahan peledak. Mereka akan menghancurkan hutan dan merusak sungai kita," katanya kepada penduduk desa.
Pak Hadi menunjuk Raka, seorang pemuda pemberani dari desa. "Raka, kau adalah satu-satunya yang bisa menghadapi ancaman ini. Pergilah mencari Wulanga dan mintalah bantuannya."
Raka, dengan tubuh tegap dan tinggi sekitar satu setengah meter, memiliki kulit kecokelatan dan mata coklat keemasan yang mencerminkan semangat dan keberanian. "Aku akan pergi mencari Wulanga," kata Raka dengan penuh keyakinan. "Aku akan melindungi desa ini dengan segala kemampuan yang aku punya."
Di pagi hari, Raka memulai perjalanan menuju hutan utara yang dikenal gelap dan misterius. Hutan ini menyambutnya dengan suasana tegang. Pohon-pohon tinggi dengan dahan melengkung menciptakan bayangan gelap di jalan setapak, sementara suara gemerisik daun dan desisan serangga menambah suasana mencekam.
Setelah beberapa jam berjalan, Raka dihadapkan oleh seekor harimau besar dengan bulu hitam belang merah. Harimau itu mengeluarkan raungan menakutkan dan melompat menyerang. Dengan refleks cepat, Raka menarik pedangnya dan menghindari cakar harimau. Bentrokan antara Raka dan harimau berlangsung sengit, dengan Raka bergerak gesit untuk menghindari serangan dan balas menyerang dengan presisi.
Harimau itu menyerang dengan kekuatan mematikan, tetapi dengan keterampilan bertarungnya, Raka berhasil mengalahkannya. Setelah pertarungan itu, Raka melanjutkan perjalanan, namun suasana semakin menegangkan dengan suara hutan yang semakin aneh dan misterius.
Raka melanjutkan perjalanannya melalui hutan yang semakin gelap. Suara gemerisik daun dan desisan serangga semakin intens, seolah-olah hutan itu sendiri tengah mengawasi setiap langkahnya. Saat malam mulai turun, suasana menjadi lebih menegangkan. Dalam kegelapan, Raka mendengar suara gemuruh seperti langkah berat. Tanpa memberi kesempatan untuk istirahat, Raka melihat mata bersinar merah dari kejauhan. Rupa-rupanya, dia telah memasuki wilayah seekor beruang besar yang sedang terjaga. Beruang itu mengaum keras dan mengarahkan cakar-cakarnya yang tajam ke arah Raka. Dengan refleks yang terasah, Raka melompat ke samping dan menghindari serangan beruang, sementara dia menyiapkan pedangnya untuk pertarungan.