Mohon tunggu...
Arsyad
Arsyad Mohon Tunggu... Guru - cerpen

Nama Arsyad Dengan satu istri dan dua orang anak,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Satu Jalan Lain Alam

11 Desember 2019   08:25 Diperbarui: 11 Desember 2019   08:27 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari jauh terlihat kerlap-kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk di desa Umbulan, itu tandanya perjalanan ku sudah tidak jauh lagi. Desa yang dihuni hanya beberapa KK, desa yang sederhana. Mayoritas penduduk pekebun dan pencari rotan di hutan. Tapi akhir-akhir ini hutan sudah mulai tidak bersahabat terhadap penduduk desa.

Kerap terjadi longsor seiring tibanya musim penghujan, akibat ilegal logging yang dilakukan perusahaan tanpa izin, segelintir oknum yang mencari keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan alam sudah beberapa kali kejadian longsor yang mengakibatkan korban, dan aku juga yakin, tumbangnya pohon yang menimpa ayah dan abangku juga akibat longsornya tanah dihutan.

"Kita sudah sampai, kau masuk sajalah dulu, temui abah, aku mau kesungai mencuci kaki" ucapan Bang Muslim mengagetkan ku, rumah sederhana berdinding papan kayu hutan, beratapkan daun, tempat aku menghabiskan waktu dimasa kecil, bersenda gurau dengan Bang Muslim. Perlahan aku berjalan mendekati rumah, terlihat beberapa penduduk memakai baju gamis dan mengenakan peci duduk diteras rumah.

Dari luar sayup ku dengar, lantunan ayat suci yang dibacakan oleh beberapa orang bersamaan, terlihat jelas ditengah rumah, diterangi bohlam pijar, satu tubuh terbujur kaku menghadap kiblat ditutup sarung batik tak berjahit, disebelah kanan jasad ku lihat Abdul yang tersedu menangis memanggil "ayah". Tubuhku sejenak kaku tak bergerak, tidak percaya dengan apa yang kulihat, kejadian sepanjang jalan bersama Bang Muslim, kucoba melangkahkan kaki yang terasa berat, memasuki rumah yang lantainya sudah mulai lapuk, mataku menyapu kesetiap sudut rumah,terlihat ayahku dengan mata sembab, duduk bersandar di dinding rumah, kaki yang diperban, memandangku sayu.

Perlahan ku buka penutup jasad, dan seperti dugaan ku, Bang Muslim, sejenak fikirku menerawang tidak jelas, mengingat kejadian barusan, siapa lelaki yang menjemputku di jalan sunyi becek berlumpur? Siapa lelaki yang kepalanya diperban dengan tangan yang digendong di leher? Siapa yang baru saja berjalan beriringan dengan ku?

Mataku memandang Abdul, anak lima tahun, kurus berambut ikal yang tidak henti menangis, kasian sekali kau nak, baru dua bulan yang lalu kau ditinggal ibumu, sekarang ayahmu, yatim piatu sekarang kau Abdul. Tidak terasa air mata ku mengalir deras memandang Abdul dan tubuh kaku Bang Muslim.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun